Perilaku Belajar Menurut Teori Psikososial Erikson
Perilaku belajar menurut psikososial dari Erikson

Salah satu ahli yang mendasari teorinya
dari sudut sosial ialah Erik H. Erikson dengan menyebut pendekatannya “Psikososial”
atau “Psikohistoris”. Erikson berusaha menjelaskan bahwa ada hubungan
timbal balik antara pribadi dan
kebudayaan sampai orang tersebut menjadi dewasa.
Disini terlihat bahwa
lingkungan hidup seseorang dari awal sampai akhir dipengaruhi oleh sejarah
seluruh masyarakat karena perkembangan relasi antara sesama manusia, masyarakat
serta kebudayaan semua saling terkait. Itu berarti tiap individu punya
kesanggupan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang senantiasa berkembang dari orang-orang atau institusi
supaya ia bisa menjadi bagian dari perhatian kebudayaan secara terus-menerus.
Erikson berusaha menemukan perkembangan Psikososial Ego melalui berbagai
organisasi sosial dalam kelompok atau kebudayaan tertentu. Ia mencoba
meletakkan hubungan antara gejala psikis, edukatif dan gejala budaya
masyarakat.
Dalam penelitiannya, Erikson membuktikan bahwa masyarakat atau
budaya melalui kebiasaan mengasuh anak, struktur keluarga tertentu, kelompok
sosial maupun susunan institusional, membantu perkembangan anak dalam berbagai
macam daya Ego yang diperlukan untuk menerima berbagai peran serta tanggung
jawab sosial.
Sumber dan dasar teori Erikson adalah latar belakang keluarga,
pendidikan, agama, kebangsaan serta profesi yang sempat mengacaukan
identitasnya, yang kemudian berhasil mendorong Erikson menciptakan formulasi
konseptual tentang terjadinya identitas. Setiap orang belajar melalui
orang-orang yang berpengaruh atas dirinya melalui peran relasi-relasi sosial
yang terjadi secara terus-menerus.
Keterlibatan Erikson dengan lembaga
pendidikan Sigmund Freud’s menjadikannya banyak belajar mengenai teori Psikoseksual.
Itu sebabnya Erikson dikategorikan sebagai ahli Neo-Freudian karena
pandangannya merupakan perluasan dari teori Freud.
Memotivasi belajar siswa menurut psikososial dari Erikson

Tahapan Perkembangan Psikososial.
Adapun teori psikososial dari Erikson ini berkaitan dengan
prinsip-prinsip dari perkembangan baik itu secara psikologis dan juga secara
sosial, dan teori Erikson ini juga merupakan sebuah pengembangan dari teori psikoseksual
oleh Sigmund Freud. Berikut ini delapan tahapan yang dibuat oleh Erikson
yaitu:
1) Trust vs Mistrust (Percaya
& Tidak Percaya, 0-18 bulan)
Karena ketergantungannya, hal pertama yang akan dipelajari seorang anak atau bayi dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya, terutama pada ibu atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika kebutuhan anak cukup dipenuhi oleh sang ibu atau pengasuh seperti makanan dan kasih sayang maka anak akan merasakan keamanan dan kepercayaan.
Akan tetapi, jika ibu atau pengasuh tidak dapat merespon kebutuhan si anak, maka anak bisa menjadi seorang yang selalu merasa tidak aman dan tidak bisa mempercayai orang lain, menjadi seorang yang selalu skeptis dan menghindari hubungan yang berdasarkan saling percaya sepanjang hidupnya.
2) Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Malu dan Ragu-ragu, 18 bulan - 3 tahun)
Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai berkembang, seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Orang tua yang memberikan Kepercayaan serta kesempatan pada anaknya untuk bereksplorasi sendiri dengan dibawah bimbingan akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri serta percaya diri.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu membatasi dan bersikap keras kepada anak, dapat membentuk sang anak berkembang menjadi pribadi yang pemalu dan tidak memiliki rasa percaya diri, dan juga kurang mandiri. Anak dapat menjadi lemah dan tidak kompeten sehingga selalu merasa malu dan ragu-ragu terhadap kemampuan dirinya sendiri.
3) Inisiatif vs Rasa Bersalah (Initiative vs Guilt, 3-6 tahun)
Anak usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya yang lain seperti motorik dan kemampuan berbahasa, mampu mengeksplorasi lingkungannya secara fisik maupun sosial dan mengembangkan inisiatif untuk mulai bertindak. Apabila orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak, akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk mengambil tindakan.
Namun, inisiatif yang berlebihan juga tidak dapat dibenarkan karena anak tidak akan memedulikan bimbingan orang tua kepadanya. Sebaliknya, jika anak memiliki inisiatif yang terlalu sedikit, maka ia dapat mengemb angkan rasa ketidak pedulian.
Karena ketergantungannya, hal pertama yang akan dipelajari seorang anak atau bayi dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya, terutama pada ibu atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika kebutuhan anak cukup dipenuhi oleh sang ibu atau pengasuh seperti makanan dan kasih sayang maka anak akan merasakan keamanan dan kepercayaan.
Akan tetapi, jika ibu atau pengasuh tidak dapat merespon kebutuhan si anak, maka anak bisa menjadi seorang yang selalu merasa tidak aman dan tidak bisa mempercayai orang lain, menjadi seorang yang selalu skeptis dan menghindari hubungan yang berdasarkan saling percaya sepanjang hidupnya.
2) Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Malu dan Ragu-ragu, 18 bulan - 3 tahun)
Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai berkembang, seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Orang tua yang memberikan Kepercayaan serta kesempatan pada anaknya untuk bereksplorasi sendiri dengan dibawah bimbingan akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri serta percaya diri.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu membatasi dan bersikap keras kepada anak, dapat membentuk sang anak berkembang menjadi pribadi yang pemalu dan tidak memiliki rasa percaya diri, dan juga kurang mandiri. Anak dapat menjadi lemah dan tidak kompeten sehingga selalu merasa malu dan ragu-ragu terhadap kemampuan dirinya sendiri.
3) Inisiatif vs Rasa Bersalah (Initiative vs Guilt, 3-6 tahun)
Anak usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya yang lain seperti motorik dan kemampuan berbahasa, mampu mengeksplorasi lingkungannya secara fisik maupun sosial dan mengembangkan inisiatif untuk mulai bertindak. Apabila orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak, akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk mengambil tindakan.
Namun, inisiatif yang berlebihan juga tidak dapat dibenarkan karena anak tidak akan memedulikan bimbingan orang tua kepadanya. Sebaliknya, jika anak memiliki inisiatif yang terlalu sedikit, maka ia dapat mengemb angkan rasa ketidak pedulian.
4) Tekun vs Rasa Rendah Diri (Industry vs Inferiority, 6-12 tahun)
Anak yang sudah terlibat aktif dalam
interaksi sosial akan mulai mengembangkan suatu perasaan bangga terhadap
identitasnya. Anak yang sudah memasuki usia bersekolah Kemampuan akademiknya
akan mulai berkembang dan juga kemampuan sosialnya untuk melakukan interaksi
dengan baik di luar keluarga.
Dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru.
Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
5) Identity vs Role Confusion (Identitas vs Kebingungan Peran, 12-18 tahun)
Pada tahap ini seorang anak remaja akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati diri mereka sebenarnya, dan biasanya anak akan mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya untuk melewati hal tersebut. Jika anak dapat menjalani berbagai peran baru dengan positif dan dukungan orang tua, maka identitas yang positif juga akan tercapai.
Akan tetapi jika anak kurang mendapat bimbingan dan mendapat banyak penolakan dari orang tua terkait berbagai peranannya, maka ia bisa jadi akan mengalami kebingungan identitas serta ketidak yakinan terhadap hasrat serta kepercayaan dirinya.
Baca Juga: Teori Belajar Sosiokultural dan Penerapannya menurut Lev Vygotsky
6) Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Isolasi, 18-35 tahun)
Dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru.
Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
5) Identity vs Role Confusion (Identitas vs Kebingungan Peran, 12-18 tahun)
Pada tahap ini seorang anak remaja akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati diri mereka sebenarnya, dan biasanya anak akan mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya untuk melewati hal tersebut. Jika anak dapat menjalani berbagai peran baru dengan positif dan dukungan orang tua, maka identitas yang positif juga akan tercapai.
Akan tetapi jika anak kurang mendapat bimbingan dan mendapat banyak penolakan dari orang tua terkait berbagai peranannya, maka ia bisa jadi akan mengalami kebingungan identitas serta ketidak yakinan terhadap hasrat serta kepercayaan dirinya.
Baca Juga: Teori Belajar Sosiokultural dan Penerapannya menurut Lev Vygotsky
6) Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Isolasi, 18-35 tahun)
Tahap pertama dalam perkembangan
kedewasaan ini biasanya terjadi pada masa dewasa muda, yaitu merupakan tahap
ketika seseorang merasa siap membangun hubungan yang dekat dan intim dengan
orang lain.
Jika sukses membangun hubungan yang erat, seseorang akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang. Pribadi yang memiliki identitas personal kuat sangat penting untuk dapat menembangkan hubungan yang sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa membuat seseorang merasakan jarak dan terasing dari orang lain.
7) Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan, 35-64 tahun)
Ini adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya seseorang sudah mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir atau rumah tangga yang telah dicapai memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan.
Namun jika seseorang merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasan ya akan muncul penyesalan akan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya mengalami stagnasi.
8) Integrity vs Despair (Integritas vs Keputusasaan, 65 tahun keatas)
Pada fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back tentang alur kehidupannya yang telah dijalani. Juga berusaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaikan.
Jika berhasil melewati tahap ini, maka seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan, namun jika gagal mereka bisa menjadi putus asa.
Baca Juga: Metode Pembelajaran Information Processing
Sudah dijelaskan diawal jika teori dari Erikson adalah pengembangan dari teori psikoseksual Sigmund Freud. Meskipun demikian banyak orang yang lebih memilih teori psikososial dari Erikson daripada teori psikoseksual Freud, alasannya karena teori Erikson ini mencakup seluruh masa dan tahapan dari mulai kanak-kanak sampai masa lanjut usia sementara Freud hanya sebagian diantaranya yaitu sampai masa remaja.
Jika sukses membangun hubungan yang erat, seseorang akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang. Pribadi yang memiliki identitas personal kuat sangat penting untuk dapat menembangkan hubungan yang sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa membuat seseorang merasakan jarak dan terasing dari orang lain.
7) Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan, 35-64 tahun)
Ini adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya seseorang sudah mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir atau rumah tangga yang telah dicapai memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan.
Namun jika seseorang merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasan ya akan muncul penyesalan akan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya mengalami stagnasi.
8) Integrity vs Despair (Integritas vs Keputusasaan, 65 tahun keatas)
Pada fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back tentang alur kehidupannya yang telah dijalani. Juga berusaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaikan.
Jika berhasil melewati tahap ini, maka seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan, namun jika gagal mereka bisa menjadi putus asa.
Baca Juga: Metode Pembelajaran Information Processing
Sudah dijelaskan diawal jika teori dari Erikson adalah pengembangan dari teori psikoseksual Sigmund Freud. Meskipun demikian banyak orang yang lebih memilih teori psikososial dari Erikson daripada teori psikoseksual Freud, alasannya karena teori Erikson ini mencakup seluruh masa dan tahapan dari mulai kanak-kanak sampai masa lanjut usia sementara Freud hanya sebagian diantaranya yaitu sampai masa remaja.
Dan juga karena banyak orang tidak percaya bahwa manusia hanya
didominasi oleh naluri seksual mereka seperti yang dinyatakan Freud. Dalam
membuat teori psikososialnya ini, Erikson mencoba mengumpulkan berbagai permasalah
utama dalam kehidupan yang menjadi dasar pembentukan teorinya.
Banyak yang lebih memilih teori psikososial Erikson dikarenakan teorinya dianggap lebih realistis sebab Erikson membawa aspek-aspek kehidupan seperti sosial dan budaya. Setiap teori tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, namun teori psikososial Erikson telah mendasari banyak metode pendidikan dan pengasuhan terhadap anak-anak usia dini.
Para orang tua pun dapat mendasarkan pola pengasuhan mereka kepada teori ini jika menginginkan anak terbentuk dengan baik dan memiliki kepribadian serta karakter yang positif.
Banyak yang lebih memilih teori psikososial Erikson dikarenakan teorinya dianggap lebih realistis sebab Erikson membawa aspek-aspek kehidupan seperti sosial dan budaya. Setiap teori tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, namun teori psikososial Erikson telah mendasari banyak metode pendidikan dan pengasuhan terhadap anak-anak usia dini.
Para orang tua pun dapat mendasarkan pola pengasuhan mereka kepada teori ini jika menginginkan anak terbentuk dengan baik dan memiliki kepribadian serta karakter yang positif.
Wah Keren Di Tunggu Artikel Lain Nya
BalasHapusSiap, terimakasih telah berkujung, jangan lupa untuk mengikuti blog agar bisa mendapat notifikasi kalau ada artikel baru.
BalasHapus