Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Psikologi Belajar: Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan


Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan
Ilustrasi gambar: sumber pexels.com

Pengukuran dan penilaian dalam pendidikan merupakan suatu rangkaian dari proses pendidikan. Penilaian dilakukan setalah proses pendidikan usai atau telah selesai dilaksanakan. Penilaian digunakan untuk mengetahui kualitas suatu proses pendidikan. Pendidikan dikatakan berkualitas ketika terdapat evaluasi yang berbentuk hasil evaluasi pendidikan.

Adapun bentuk-bentuk evaluasi dapat berupa pengukuran dan penilaian. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui kualitas secara kuantitatif tanpa interpretasi, sedangkan penilaian dilakukan untuk mengetahui kualitas secara kualitatif yang telah menggunakan interpretasi sehingga pengukuran yang dilakukan memiliki makna.

Pengertian Pengukuran dan Penilaian

Pengertian pengukuran dan penilaian dalam dunia pendidikan sering dianggap sama. Namun pada hakikatnya pengukuran dan penilaian adalah dua hal yang berbeda. Tetapi pada praktiknya istilah pengukuran, penilaian, dan evaluasi sering digunakan secara bergantian dan dianggap sama karena hubungan antara istilah-istilah tersebut sangat erat. Berikut akan dijelaskan tentang konsep pengukuran dan peniaian.

Pengukuran (Measurement)

Sutrisno Hadi mendefinisikan pengukuran sebagai suatu tindakan untuk mengidentifikasi besar kecilnya suatu gejala. Menurut Suharsimi (1999:3), pengukuran merupakan proses membandingkan sesuatu dengan satu ukuran tertentu dan bersifat kuantitatif. Pengukuran juga diterjemahkan sebagai usaha untuk mengetahui keadaan tentang sesuatu sebagaimana adanya dan berupa pengumpulan data tentang sesuatu. 

Hasil pengukuran dapat berupa angka atau uraian tentang kenyataan atas sesuatu yang menggambarkan derajat kualitas, kuantitas, dan eksistensi keadaan sesuatu yang diukur. Hasil pengukuran dapat menjelaskan sesuatu bila telah ditafsirkan dengan cara membandingkan dengan suatu patokan, norma, atau kriteria tertentu.

Dalam proses belajar mengajar, pengukuran dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan tingkah laku siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Pengukuran hasil belajar umumnya menggunakan tes sebagai alat pengukur. Proses pembuatan soal, pelaksanaan tes, dan pemberian skor pada hasil tes merupakan rangkaian proses pelaksanaan pengukuran. 

Angka-angka yang dicapai siswa merupakan contoh skor hasil pengukuran yang berupa angka. Skor-skor tersebut belum memberikan arti apapun secara lebih tentang kondisi siswa tersebut, hal ini disebabkan belum dilakukan penilaian dengan cara membandingkan skor yang diperoleh siswa dalam pengukuran tersebut dengan norma, patokan, atau kriteria tertentu yang digunakan sebagai pembanding.


Penilaian (Evaluation)

Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan
Ilustrasi gambar: sumber pexels.com

Penilaian dalam kegiatan evaluasi hasil belajar merupakan tindakan untuk memberikan interpretasi terhadap hasil pengukuran yang telah dilakukan dengan menggunakan norma-norma tertentu dengan tujuan untuk mengetahui tinggi-rendah atau baik-buruk tentang aspek-apsek tertentu yang dievaluasi. 

Menurut Suharsimi (1999:3), penilaian merupakan kegiatan pengambilan suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk dan penilaian lainnya yang bersifat kualitatif. Hasil pengukuran tidak ada gunanya tanpa dinilai dengan menggunakan norma sehingga semua usaha membandingkan hasil pengukuran terhadap bahan pembanding berupa patokan atau norma tertentu yang dikenal dengan istilah penilaian.

Keterangan sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah merupakan hasil penilaian atau interpretasi hasil pengukuran. Begitu juga dengan predikat lulus atau tidak lulus. Patokan atau norma memberi batas untuk memberikan interpretasi nilai di atas dan di bawahnya. Skor di atas norma dinilai baik atau tinggi, dan skor di bawah norma dinilai buruk atau rendah. Melakukan sebuah penilaian harus memiliki patokan atau norma sebagai acuan penilaian.


Fungsi Evaluasi

Sudijono (2005: 8), menyebutkan evaluasi pendidikan terutama hasil belajar siswa secara umum memiliki tiga fungsi pokok, anatara lain:

1. Evaluasi hasil belajar befungsi untuk mengukur tingkat kemajuan siswa dalam belajar.
2. Evaluasi hasil belajar digunakan sebagai dasar untuk menyusun rencana pembelajaran selanjutnya.
3. Evaluasi hasil belajar digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki atau melakukan penyempurnaan tehadap proses pembalajaran.

Sumadi Suryabrata (2011: 297), menjelaskan fungsi evaluasi hasil belajar meliputi :

1. Fungsi Psikologis,  yaitu  agar siswa memperoleh  kepastian  tentang  status  di  dalam kelas sebagai siswa yang mengikuti proses pembelajaran. Artinya, hasil evaluasi belajar memberikan pedoman kepada siswa untuk mengenal kemampuan, kapasitas, dan status dirinya setelah mengikuti proses pembelajaran.  

Di  samping  itu,  bagi  guru  merupakan  suatu  pertanggungjawaban sekaligus melihat  sampai sejauh mana usaha mengajarnya mampu dipahami dan dikuasai dengan baik oleh siswa.

2. Fungsi Didaktis, bagi siswa, laporan keberhasilan maupun kegagalan belajar akan berpengaruh besar pada  usaha-usaha belajar yang akan dan harus dilakukan berikutnya. Evaluasi pendidikan (khususnya evaluasi hasil belajar) bagi siswa akan digunakan sebagai dorongan atau motivasi untuk memperbaiki, meningkatkan, dan mempertahankan prestasinya. 

Sedangkan bagi guru, penilaian hasil belajar dapat menunjukkan keberhasilan atau kegagalan proses mengajarnya, termasuk tepat atau tidaknya metode mengajar yang dipergunakan.

Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan
Ilustrasi gambar: sumber pexels.com

3. Fungsi Administratif, dengan adanya penilaian dalam bentuk rapor akan dapat dipenuhi berbagai fungsi administratif yaitu:

  • Merupakan inti laporan kepada orang tua siswa, pejabat, guru dan siswa itu sendiri.
  • Merupakan data bagi siswa apabila ia akan naik kelas, pindah sekolah, maupun untuk melamar pekerjaan. 
  • Dari  data  tersebut  kemudian  dapat  berfungsi  untuk  menentukan  status  anak  dalam kelasnya. 
  • Memberikan informasi mengenai segala hasil usaha yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan.


 
Tes Skolastik di Sekolah atau Perguruan Tinggi

Evaluasi belajar para siswa atau mahasiswa di sekolah atau perguruan tinggi diukur dengan instrumen yang disebut tes skolastik. Jenis tes ini disusun oleh guru atau dosen di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi.  

Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan
Ilustrasi gambar: sumber pexels.com

Jenis tes skolastik yang diadakan di seklah SD, SMP, SMA contohnya EBTA, EBTANAS, dan sebagainya. Sedangkan tes skolastik di perguruan tinggi contohnya adalah Ujian Tengah Semester (UST) dan Ujian Akhir Semester (UAS), dan sebagainya.  

Bentuk dari tes skolastik yang diterapkan di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi terdapat bermacam-macam bentuknya, diantaranya:

  • Ujian Lisan, disebut juga tes lisan. Bentuk ujian semacam ini telah diterapkan di sekolah atau perguruan tinggi semenjak budaya manusia mengenal sistem pendidikan formal. Caranya cukup mudah, yaitu guru bertanya dan siswa menjawab dengan lisan. 
  • Tes Tertulis, merupakan jenis tes yang paling banyak dipakai disekolah maupun perguruan tinggi. Secara teknis tes tertulis disusun dengan menggunakan kata-kata kunci tertentu, misalnya uraikan, sebutkan, bagaimana, jelaskan, dan sebagainya. 
  • Tes Objektif, mempunyai kebaikan untuk mengungkap pengetahuan yang dikuasai siswa sebanyak-banyaknya, kaena soalnya dapat dibuat banyak dan koreksinya cendeung lebih mudah. Bentuk tes objektif bermacam-macam, dintaranya: Tes jawab singkat, tes menyempurnakan, tes isian, tes benar salah, tes pilihan ganda, tes menjodohkan, dan bentuk-bentuk tes lain yang dapat disusun oleh guru atau dosen yang berkompeten dibidangnya.


Kriteria dalam Melakukan Penilaian

Penilaian hasil belajar dilakukan berdasarkan asas-asas tertentu. William R. Lucck dalam bukunya, An Introduction to Teaching, mengemukakan bahwa penilaian harus berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan
Ilustrasi gambar: sumber pexels.com

  • Penilaian bersifat kuantitas atau kualitas. Penilaian bersifat kualitatif berkenaan dengan mutu hasil belajar. Penilaian kuantitatif berkenaan dengan banyaknya materi yang telah dipelajari. 
  • Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan. Penilaian dilakukan sejak awal proses belajar, dilanjutkan sepanjang proses berlangsung, dan diakhiri pada akhir pembelajaran.
  • Penilaian bersifat keseluruhan. Penilaian dilakukan terhadap keseluruhan aspek pribadi siswa yang mencakup aspek-apek intelektual, hubungan sosial, sikap, watak, sifat kepemimpinan, hubungan personal sosial, moral tanggung jawab, ketekunan bekerja, kejujuran, kesehatan jasmani, dan semua aktivitasnya, hubungan, kesehatan rohani jasmani, dan semua aktivitasnya, baik di dalam maupun luar sekolah. 
  • Penilaian bersifat obyektif. Penilaian ditujukan ke arah pemeriksaan perkembangan dan kemajuan siswa dalam hubungan dengan pencapaian tujuan belajar. Penilaian diberikan sebagaimana adanya siswa, tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur emosi, hubungan sosial tertentu, atau sikap guru terhadap siswa. Pendeknya subyektivitas guru tidak berpengaruh terhadap hasil penilaian.
  • Penilaian bersifat kooperatif. Kegiatan penilaian adalah tanggung jawab bersama, baik para guru, orang tua, siswa maupun maysrakat. Jadi penilaian itu merupakan hasil kerja sama antara semua pihak yang terkait, baik di dalam lingkungan seolah maupun di luar sekolah.

Syarat Pengukuran

Agar evaluasi yang dilaksanakan itu obyektif, diperlukan informasi atau bahan yang relevan. Untuk memperoleh informasi atau bahan yang relevan diperlukan alat pengukur atau instrumen yang dapat dipertanggungjawabkan atau memenuhi syarat. Alat pengukur yang baik adalah alat pengukur yang memenuhi persyaratan a) validitas, b) reliabilitas, dan c) daya pembeda.

Alat pengukur harus valid

Validitas alat pengukur ialah kadar ketelitian alat pengukur untuk dapat memenuhi fungsinya dalam menggambarkan keadaan aspek yang diukur dengan tepat dan teliti. Sesuai dengan pengertian tersebut Sutrisno Hadi (1997) juga mengemukakan bahwa mengenai masalah validitas ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu kejituan dan ketelitian. Jadi sesuai dengan pengertian validitas tersebut di atas ada dua macam problem validitas yaitu:

  •  Problem kejituan atau ketepatan

Suatu alat pengukur dikatakan jitu atau tepat bila ia dengan jitu mengena pada sasarannya. Atau dengan kata lain seberapa jauh suatu alat pengkur dapat mengungkap dengan jitu gejala atau bagian-bagian gejala yang hendak diukur. Dengan demikian alat pengukur dianggap memiliki kejituan apabila alat pengukur tersebut dapat mengerjakan  dengan tepat fungsi yang diserahkan kepadanya, fungsi apa alat itu dipersiapkan.

  •  Problem ketelitian

Suatu alat pengukur dikatakan teliti jika ia mampu dengan cermat menunjukkan ukuran besar kecilnya gejala atau bagian-bagian gejala yang diukur. Dengan kata lain seberapa jauh alat pengukur dapat memberikan "reading" yang teliti, dapat menunjukkan dengan sebenamya status atau keadaan gejala atau bagian-bagian gejala  yang diukur, misaInya meteran dapat dikatakan teliti jika suatu benda yang panjangnya 10 meter ia katakan 10 meter, bukan kurang atau lebih dari 10 meter.


Alat pengukur halus reliable

Pembicaraan reliabilitas alat pengukur berdasar pada seberapa jauh suatu alat pengukur dapat menunjukkan kestabilan kekonstanan, atau keajegan hasil pengukuran. Suatu alat pengukur dikatakan reliabel bila alat pengukur tersebut dikenakan terhadap subyek yang sama tetapi pada saat yang berlainan atau kalau orang yang memberikan alat pengukur itu berbeda hasilnya akan tetap sama. 

Sebagai contoh suatu meteran yang dipergunakan untuk mengukur panjang suatu benda. Meteran tersebut dapat dikatakan reliabel bila ia dipergunakan untuk mengukur benda (X) menunjukkan hasil yang sama walaupun saat pengukurannya berbeda dan orang yang melakukan pengukuran juga berbeda.


Alat pengukur harus memiliki daya pembeda (diskriminatif)

Daya pembeda atau "discriminating power" soal adalah seberapa jauh suatu butir soal mampu membedakan tentang keadaan aspek yang diukur apabila keadaannya memang berbeda. Misalnya tes hasil belajar dapat diketahui daya pembedanya bila tes tersebut mampu membedakan antara dua orang atau lebih yang memang memiliki kemampuan belajar yang berbeda. 

Dengan kata lain tes yang baik harus dapat membedakan kemamapuan anak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Suatu butir soal yang sangat sukar, sehingga semua siswa tidak dapat mengerjakannya dengan benar, berarti butir soal tersebut tidak memiliki daya pembeda. 

Begitu pula sebaliknya butir soal yang sangat mudah sehingga semua siswa dapat mengerjakan dengan benar, butir soal tersebut juga tidak memiliki daya pembeda. Di samping ketiga syarat pokok alat pengukur yang baik di atas, masih ada syarat lain yaitu alat pengukur harus komprehensif, obyektif, terstandar, dan praktis.

Referensi Bacaan:

  • Irham, Muhamad dan Ardy, Novan Wiyani. 2014. Psikologi Pendidikan : Teori dan Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. 
  • Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Terjemahan oleh Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana. 
  • Prawira, Purwa Atmaja. 2014. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
  • Nuryanta, Nanang. 2008. “Pengelolaan Sumber Daya Manusia (Tinjauan Aspek Rekrutmen dan Seleksi)”. Jurnal Pendidikan Alam. Vol. 1 No. 1. 
  • Sumarno. 2016. “Pengaruh Balikan (feedback) Guru Dalam Pembelajaran Terhadap Motivasi Dan Hasil Belajar Peserta Didik (Suatu Kajian Toritis Dan Empirik)”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol. 1 No. 2. 
  • Marlina, Leny. 2015. “Management Sumber Daya Manusia Dalam Pendidikan”. Jurnal Pendidikan. Vol. 1 No. 4. 
  • Anrita. 2016. “Studi Komparasi Silabus Rongrien Bakonh Pittaya School Pattani Thailand Selatan Dengan Silabus MI Ma’aruif NU 1 Pageraji Cilongok Kabupaten Banyumas”. Skripsi.

11 komentar untuk "Psikologi Belajar: Pengukuran dan Penilaian dalam Pendidikan"

  1. Menarik ini...baru tahu juga beda antara pengukuran dan penilaian.. maksudnya memang tahu sebenarnya beda antara pengukuran dan penilaian tapi menjelaskan bedanya itu yang ga bisa..

    BalasHapus
  2. Tapi, sering pula beberapa guru atau pengajar kurang bisa melihat objektivitas dalam penilaian siswanya. Mungkin ini harus benar benar diberlakukan secara tetap. Karena, kadang ada saja guru yang asal memberi nilai hanya karena ada kondisi kurang sreg pada siswanya.

    Ini berdasarkan pengalaman dari teman yang masih cenderung belum bisa objektif memberi nilai anak muridnya.

    BalasHapus
  3. Banyak banget ya Kak penilaian dalam pendidikan. Jadi sebetulnya kita engga boleh sembarangan juga menilai si A, si B dll. Tiap orang tidak sama. Nah, tapi kalau dalam 1 kelas ada banyak murid. Kadang guru engga cukup waktu menilai dengan teliti...

    BalasHapus
  4. Kadang banyak orang tua bahkan pendidik saat ini yang bias hanya melakukan pengukuran pendidikan sebatas angka saja. Padahal harusnya kita telaah dulu syarat pengukurannya udah terpenuhi belum yaa...jangan2 alat ukurnya yang salah

    BalasHapus
  5. Baca ini dan baru sadar.. Psikologi itu susahhh dan berattt yaaaaa disiplin ilmunya.

    Sakit deh aku

    BalasHapus
  6. Saya jadi inget ke kuantitas dan kualitas. Mengukur itu kegiatan mencari kuantitas, sementara menilai itu mencari kualitas. Mohon maaf kalau keliru, soalnya membaca tulisan ini jadi inget materi bimbingan skripsi hehe

    BalasHapus
  7. Wedew.. aku baru nyadar beda arti secara detil ttg pengukuran dan penilaian... Awalnya kukira kedua kata itu ya cuma beda penggunaan saja, tetapi makna keduanya beda banget ternyata...

    BalasHapus
  8. baca ini sebagai pentuk penilaian dari disiplin ilmu yang sedang diuji itu terkadang luput dari beberapa hal diatas, apalagi ketika masuk pada essay yang menguji penalaran dan juga penilaian yg harus objektif dan paham akan variabel yg dibahas

    BalasHapus
  9. Berarti kalau untuk soal itu emang harus ada yg susah tapi gak susah banget yg gak bisa dikerjain, buat apa bikin soal kalau gak ada yg bisa ngerjain. Kalau dari bapakku yg guru, aku pernah denger ttg soal HOTS

    BalasHapus
  10. Ilmu ini padat sekali, bahkan saya tak bisa mengikutinya dalam sekali duduk. Tapi berkenaan dengan ini saya jadi teringat perbedaan yang nyata antara rapor anak sekolah sekarang dengan dahulu, kalau dahulu simpel banget. Kalau sekarang rapor banyak tulisan-tulisannya dan itupun tidak dicantumkan lagi ranking di kelas. Mungkin ada hubungannya dengan psikologi siswa ya

    BalasHapus
  11. Wah, ternyata kedua kata tersebut beda toh. Nambah ilmu lagi saya nih.

    BalasHapus