Perkembangan Agama dan Sifat-Sifat Keberagamaan pada Masa Dewasa
Perkembangan Agama dan Sifat-Sifat
Keberagamaan pada Masa Dewasa - Perkembangan adalah serangkaian perubahan
progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman, perkembangan
bukan sekedar perubahan tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan
seseorang melainkan suatu proses integrasi dari banyak stuktur dan fungsi yang
komplek.
James Fowler mengembangkan teori
perkembangan religiusitas (keberagamaan). Menurut Fowler, ada 6 tahap
keberagamaan, yaitu:
1. Keyakinan Proyek Intuitif (Intuitive-Project
Faith)
Di sini anak belajar mempercayai orang
lain, terutama pada orang tua yang telah memelihara dan memberikan kasih
sayang. Mereka beranggapan bahwa antara fantasi dan kenyataan terjadi secara
bersamaan.
Salah dan benar merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan.
Bila membicarakan Tuhan, dalam pikiran mereka tergambar adanya keharusan
seseorang untuk patuh agar memperoleh ganjaran, dan hukuman bagi orang yang
tidak patuh.
2. Keyakinan Terhadap Hal-Hal yang Mistik
(Mysthic-Literal Faith)
Anak-anak sudah mampu berpikir logis dan
mengembangkan pandangan yang bersifat universal atau menyeluruh. Mereka dapat
memahami bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan yang dapat mengatasi hidupnya. Mereka
juga yakin bahwa Tuhan bersifat adil dan jujur.
3. Keyakinan Sintetis-Konfesional
(Synthetic-Convetional Faith)
Remaja telah mampu berpikir abstrak mulai
dari bentuk ideologis sistem keyakinan dan komitmen sampai hal-hal yang ideal.
Karena memasuki masa pencarian identitas diri, remaja mengharapkan hubungan
pribadi yang bersifat sangat dekat dengan Tuhan.
Dalam pikiran remaja terungkap bahwa
kegiatan imannya seringkali tak dapat dipuaskan dengan jawaban-jawaban umum
yang sesuai standar pengertian masyarakat. Karena itu, mereka berupaya
mengikuti atau menjadi anggota organisasi keagamaan.
Baca Juga: Peran Agama dalam Pembinaan Mental
4. Keyakinan Refleksi ke dalam Diri
Sendiri (Individuative-Reflective Faith)
Terjadi pada masa transisi antara remaja
dan dewasa awal. Menurut Fowler, individu mampu mengambil dan melakukan
tanggung jawab secara penuh terhadap yang diyakininya.
Seringkali konsekuensi
yang paling buruk akibat dari keyakinan tersebut harus ditanggungnya. Hal ini
dilakukan karena mereka sadar dan merasa tahu secara sungguh-sungguh bahwa
keyakinan itu sangat berarti dalam hidupnya. Bahkan harus diperjuangkan sampai
akhir hayatnya.
5. Keyakinan Konjungtif (Conjungtive
Faith)
Menurut Fowler, sebagian orang dewasa
menengah telah memasuki tahap ini. Mereka bersikap kritis, yaitu mampu
menganalisis pandangan-pandangan dalam ajaran agama yang dianggap saling
bertentangan.
6.
Keyakinan Universal (Universalizing Faith)
Tahap ini dianggap sebagai tahap yang
tertinggi. Keyakinan ini berkaitan dengan sistem keyakinan transendental yang
melampaui seluruh ajaran agama atau kepercayaan di dunia.
Orang yang telah
mencapai tahap ini tidak memiliki pandangan yang sempit, yaitu terbatas pada
ajaran agamanya saja. Segala hal yang bersifat paradoks dan menimbulkan
pertentangan telah dihapuskan.
Yang ada hanyalah kesederajatan, kesetaraan, dan
kesamaan antar manusia di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa. Yang membedakan
seseorang adalah iman dan perbuatannya.
Dalam ajaran agama Islam, bahwa kebutuhan
terhadap agama disebabkan manusia sebagai makhluk Tuhan dibekali dengan
berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut
adalah kecenderungan terhadap agama.
Salah satu fitrah inilah, bahwa manusia menerima
Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain, manusia itu adalah dari asal mempunyai
kecenderungan beragama, sebab agama itu sebagian dari fitrah-Nya.
Kebutahan manusia terhadap agama
karenanya manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious).
Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia
merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha
kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan.
Hal semacam ini terjadi
pada masyrakat modern, maupun masyarakat primitif. Dari segi ilmu jiwa, agama
dapat dikatakan bahwa perubahan jiwa agama pada orang dewasa bukanlah suatu hal
yang terjadi secara kebetulan saja, dan tidak pula merupakan pertumbuhan yang
wajar, akan tetapi adalah suatu kejadian yang didahului oleh suatu proses dan
kondisi yang dapat diteliti dan dipelajari.
Baca Juga: Efek agama terhadap kesehatan mental
Sesuai dengan perkembangan yang sudah dilalui
sepanjang usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa ini antara lain
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menerima sebuah keyakinan untuk
beragama tidak hanya sekedar ikut-ikutan pada orang lain tetapi sudah melalui
pemikiran matang terlebih dahulu.
2. Cenderung bersifat realistis, sehingga
norma-norma lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Terus memperdalam ilmu tentang
keagamaan, tak lupa juga untuk menerapkan norma-norma atau atuaran yang berlaku
sesuai dengan ketetapan di agamanya.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan
atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan
realisasi sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan
yang lebih luas. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga
kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga
didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
Sudah dijelaskan di
awal bahwasanya perkembangan agama yang terjadi pada orang dewasa tidak terjadi
begitu saja, melainkan di dalamnya terjadi sebuah proses yang cukup panjang dan
dapat dilihat juga melalui tingkah lakunya.
Keyakinan yang berupa mistik, dan
perubahan kearah acuh terhadap ajaran agama. Konversi agama sebagai suatu macam
pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang
cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama.
Lebih jelas lagi, konversi agama menunjukan
bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT
secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal.
Dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.
Jika kita berbicara mengenai konversi agama, tentu memiliki proses yang panjang dan cukup rumit, memahami bagaimana
seseorang akhirnya memiliki keyakinan terhadap hal yang sebelumnya berlawanan.
Proses ini berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, sesuai dengan
pertumbuhan jiwa yang dilaluinya, serta pengalaman dan pendidikan yang
diterimanya sejak kecil, ditambah dengan suasana lingkungan, dimana ia hidup
dan pengalaman terakhir yang menjadi puncak dari perubahan keyakinan itu.
Selanjutnya apa yang terjadi pada hidupnya sesudah itu. Tiap-tiap konversi agama
melalui proses-proses jiwa sebagai berikut:
a. Masa tenang, masa tenang ini dialami
seseorang sebelum mengalami atau memasuki proses konversi, sikap yang
ditunjukkan serta tingkah laku masih terlihat acuh tak acuh sehingga terkesan menentang
terhadap agama.
b. Masa ketidak-tenangan; konflik dan
pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya, gelisah, putus asa, tegang, panik dan sebagainya, baik disebabkan oleh moralnya, kekecewaan atau oleh apapun
juga.
c. Peristiwa konversi itu sendiri setelah
masa goncang itu mencapai puncaknya.
d. Keadaan tentram dan tenang.
e. Ekspresi konversi dalam hidup.
Referensi Bacaan:
- Harahap, Marsella Rosa dan Zaenal Abidin. Religiusitas Pada Dewasa Awal Yang Memiliki Orangtua Berbeda Agama: Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) (Jurnal Empati, Oktober 2015, Volume 4(4), 293-297).
- Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Prenada Media Group.
- Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan. 1990. Jakarta: Penerbit Erlangga.
- Agoes, Dariyo. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. 2004. Jakarta: Grasindo.
- Mustafa, M. 2016. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Dewasa. Jurnal Edukasi (Jurnal Bimbingan Konseling), 2(1), 77-90
- Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Artikel nya bermanfaat sekali. Dan mudah dipahami,masa dewasa pasti sifat nya berubah seperti saya hehe
BalasHapusTerimakasih sudah berkunjung, kalo sifatnya berubah-ubah terus ngga bagus juga tuh mas, berarti jatuhnya labil, hehehe
BalasHapus