Agama Menurut Sigmund Freud
Dalam artikel ini akan membahas mengenai Agama menurut Sigmund
Freud, tujuan saya menuliskan artikel ini bukanlah untuk mendukung teori freud
tetapi hanya untuk memberikan pengetahuan bagi saya pribadi ataupun bagi para
pembaca terkait pendapat Freud mengenai agama. Dan saya sendiripun tidak setuju
dengan teorinya tapi cukup menjadi pengetahuan bagi saya bahwa seperti inilah
pendapat salah satu tokoh psikologi tentang agama.
Agama Menurut Freud
Teori Freud tentang agama dapat dijumpai di antaranya dalam karya Totem
and Taboo (1913). Kemudian diungkap kembali dan dikembangkan lebih detail
dalam The Future of an Illusion (1927). Gagasan teori agama Freud secara
lebih gamblang diterapkan dalam kasus khusus agama Yahudi dalam bukunya Moses
and Monotheism (1939).
Freud berkeyakinan agama bermula dari totem, bahwa totemisme
dapat mengantarkan seseorang menuju agama. Totemisme adalah suatu sistem
sosio-religius yang terdapat pada suku-suku primitif di Australia, Amerika, dan
Afrika. Dalam sistem ini terdapat unsur penting, yaitu totem, biasanya
seekor binatang yang dianggap keramat, tidak boleh dibunuh atau dimakan.
Bagi
mereka, totem dipandang sebagai nenek moyang klen (kelompok)
bersangkutan. Istilah klen dalam kajian Freud dipakai untuk menunjukkan suatu
kelompok sosial yang elementer terdiri dari sejumlah keluarga. Klen-klen
bersama-sama membentuk suku. Salah satu ciri khas klen adalah para anggotanya
tidak diperbolehkan menikah satu dengan yang lainnya.
Dalam pengantar buku Ueber Psychoanalyse, edisi bahasa
Indonesia, dengan mereferensi dari Freud, K. Bertens menjelaskan: “Pada orang primitif, rasa jijik terhadap incest (berhubungan
seks sesama saudara ) menimbulkan tabu-tabu yang ketat, terutama dalam dua hal,
yaitu larangan untuk membunuh binatang totem dan larangan menikahi
wanita dari klen yang sama. Nah, pada anak yang dihinggapi fobia terhadap
binatang-binatang kita menyaksikan tingkah laku yang mirip dengan totemisme
orang primitif, sehingga tingkah laku anak dapat dianggap sebagai semacam
regresi kepada totemisme. Binatang yang menimbulkan ketakutan pada si
anak adalah substitut bagi ayah yang mengancam dalam situasi kompleks Oidipus”
(Freud, 1979: xxviii).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Freud, ada
kesamaan antara totemisme dan situasi kompleks Oedipus. Bagi Freud,
pembunuhan karakter ayah harus dipandang sebagai fondamen totemisme dan
karena itu titik tolak lahirnya agama-agama.
Sistem totem adalah semacam perjanjian dengan ayah dimana totem
ini memberikan segala keinginan anak, perlindungan, kasih-sayang, dan
toleransi, sebagai ganti dari janji yang telah anak berikan untuk menghormati
kehidupan ayahnya.
Agama totem lahir dari perasaan bersalah anak
laki-laki yang kemudian berusaha untuk meredakan perasaan ini dan membuat
perdamaian dengan ayahnya yang telah mati (dibunuh) dengan cara mematuhinya.
Freud secara meyakinkan berujar. "Totemic religion arose from the
filial sense of guilt, in an attempt to allay that feeling and appease the
father by deferred obedience to him. All later religion are seen to be attemps
at solving the same problems” (Pals, 2006: 70).
Dengan kata lain Freud memahami bahwa kejahatan beserta
akibat-akibatnya merupakan asal usul susuan masyarakat, agama dan moral.
Pandangan tentang Tuhan menurut Freud disusun menurut model ayah yang terbunuh
akibat kejahatan yang dilakukan sang anak.
Mengapa totemisme dapat mengantarkan menuju ke wilayah
agama.
Freud menjelaskan, bahwa totemisme muncul berawal pada rasa
cemburu anak laki-laki kepada ayahnya. Ayah dilihat sebagai sosok sempurna yang
memiliki segala hal yang tidak dimiliki anak, termasuk seorang istri yaitu ibu
dari anak itu sendiri.
Rasa cemburu yang teramat dalam berakhir dengan
konspirasi jahat anak laki-laki dari suatu klen untuk membunuh ayahnya. Pasca
kematian sang ayah, maka istri ayah bebas dimiliki oleh sang anak. Freud
memperkenalkan sindrom ini sebagai Oedipus Complex, cinta ibu yang
berkonotasi erotis.
Dalam studinya Religion and Personality dari Freud, Daniel
L. Pals mengatakan:
"If we want to find the origin of religion, he insists, we
need look no further than these grim events and deep psychological tensions.
The birth of belief is to be found in the Oedipus complex" (Pals,
2006: 70).
Di sini, Pals mengabarkan bahwa Freud mengkaitkan munculnya agama
melalui situasi kompleks Oedipus. Pasca kematian sang ayah, semula timbul rasa
girang dan euforia pada diri anak laki-laki, namun lambat laun berubah menjadi
rasa bersalah yang amat sangat. Timbul rasa sesal pada diri anak.
Sang anak
berusaha untuk menghidupkan kembali figur ayah dengan sesuatu yang lain. Maka
dipilihlah totem, dari satu jenis binatang tertentu untuk dijadikan
'pengganti' ayah. Binatang totem ini disucikan dan ada pelarangan yang
disepakati oleh semua anggota klen untuk tidak memakan binatang totem
ini. Inilah salah satu tabu yang melingkupi masyarakat selain larangan untuk
berhubungan seks sesama saudara (incest) (Freud, 1979: xxviii).
Agama lahir dari keinginan manusia dan karena itu merupakan ilusi.
Agama adalah penghiburan yang dibutuhkan manusia karena bengisnya hidup di
dunia ini. Begitulah anggapan Freud. Nampaknya Freud dan Karl-Marx sama-sama
memiliki kesimpulan tentang agama yang merupakan candu.
Menurut Freud dan Marx,
agama tak Iain sekedar pelarian manusia dari dunia yang tidak berpengharapan.
Ketika manusia menghadapi konflik, depresi, stres, dan cemas dalam hidupnya
maka ia membutuhkan 'Obat' untuk meredakan “rasa sakit” itu.
Dalam buku The Future
ofan Illusion, Freud menulis: "Religion would thus be the universal obsessional neurosis
of humanity; like the obsessional neurosis of children, it arose out of Oedipus
Complex, out of the relation to the father ......................"
(Freud, 1961: 41; Pals, 2006: 73).
Freud berpikir bahwa agama hanyalah suatu pelampiasan kekecewaan
dan pelarian dari kenyataan. Freud juga 'menyarankan' untuk membentuk sikap
kritis-rasional dan membuang segala ilusi serta penipuan dari pada menerima
suatu kepercayaan yang tidak punya dasar rasional. Di sini Freud meyakini bahwa
perilaku keberagamaan seseorang berada dalam alam bawah sadar.
Dalam artikel
pertamanya, "Obsessive Actions and Religious Practices"
(1907), Freud menyebut kegilaan obsesif sebagai bagian 'patologi bentuk agama'
dan agama sendiri merupakan bagian “kegilaan obsesi universal”.
Argumen Freud dibangun dari kenyataan bahwa segala macam ritual dan
upacara keagamaan adalah bentuk kegilaan obsesif manusia semata. Karena manusia
tidak sadar ketika melakukan ritual-ritual agama.
Jika dilihat dalam kenyataan
sehari-hari, barangkali teori Freud ada benarnya. Faktanya, moyoritas kaum
agamawan sering beribadah tidak muncul dari kesadaran mereka.
Sungguh sayang,
jika perilaku ritual agama muncul tanpa kesadaran. Sering hanya untuk
mengurangi rasa cemas, bersalah, ancaman, atau bahkan dengan motif-motif hasrat
destruktifnya. Dalam konteks inilah teori Freud menemukan relevansinya dengan
realitas keberagaman di Indonesia.
Itulah pembahasan mengenai Agama menurut Sigmund Freud, semoga
pembahasan ini dapat menambah pengetahuan bagi anda yang sudah meluangkan
sedikit waktu untuk membaca.
Referensi bacaan
Ahmad, M. (2012). Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud. RELIGIA, 14
(2).
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. 2009.
Freud, Sigmund. Ueber Psychoanalyse, terj. K. Bertens. Jakarta:
Gramedia. 1979.
Pals, Daniel L. Eight Theories of Religion. London: Oxford
University Press. 2006.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung:
Mizan. 2004.
Ya, seperti itulah Freud memandang agama.
BalasHapus