Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Studi Kasus Motivasi Berjilbab di Kalangan Wanita Muslimah



Dalam artikel ini akan dibahas mengenai Studi kasus atau observasi mengenai motivasi berjilbab di kalangan wanita musilimah, disini akan dikaitkan pula dengan teori atau pandangan Sigmund Freud mengenai perilaku beragama pada seseorang.

Pengantar

Sebagaimana disebutkan oleh Sigmund Freud, motivasi berperilaku manusia dalam perspektif psikoanalisis adalah untuk memuaskan dorongan-dorongan yang bersumber dari id yang didominasi oleh ketidaksadaran (unconsciousness).

Teori psikoanalisis Sigmund Freud jika dikaitkan dengan fenomena jilbab, maka kesimpulannya adalah bahwa berjilbab dilakukan oleh wanita muslimah tidak lebih dari sekedar upaya menghindari celaan, ancaman, perasaan bersalah dan sebagainya, atau bahkan motif-motif hasrat destruktif. 

Dengan kata lain, fenomena berjilbab dilakukan tidak atas dasar kesadaran, melainkan ketidaksadaran yang dibalut oleh kepentingan-kepentingan tertentu (id). Kalaupun dilakukan atas kesadaran, hal tersebut semata-mata menyesuaikan diri dengan lingkungan atau norma yang berlaku di tempat tertentu.


Lalu pertanyaannya, bagaimana jika pada kenyataannya wanita berjilbab memang karena faktor kesadaran diri bahwa hal tersebut merupakan perintah Agama sehingga wajib dilaksanakan? Freud, seperti halnya Karl Max, merupakan tokoh yang sama-sama menganggap agama sebagai candu.

Agama tidak lain hanya sekedar pelarian manusia dari dunia yang tidak berpengharapan. Agama lahir karena diciptakan oleh manusia, karenanya ia tidak lebih dari sekedar ilusi dan hanyalah suatu pelampiasan kekecewaan dan pelarian dari kenyataan.



Ringkasnya, bagi Freud kaitannya dengan fenomena jilbab yang diyakini sebagai ritual suci agama pun, merupakan ritual suci agama yang dilakukan tidak atas dasar kesadaran. Ia hanya kegilaan obsesif pemeluknya.

Kesimpulan hasil penelitian


Kaitannya dengan motivasi berjilbab ini, peneliti berulang kali mewawancarai beberapa wanita muslimah yang biasa mengenakan jilbab dalam keseharian mereka dan berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa sumber inti, didapati kesimpulan bahwa mereka mengenakan jilbab karena motif yang beragam:

1. Awalnya hanya kebiasaan yang sengaja ditumbuhkan oleh pihak keluarga sejak usia sekolah dasar (8-12 tahun), kemudian berubah menjadi kesadaran bahwa berjilbab merupakan tuntunan agama.

2. Awalnya faktor lingkungan yang mengharuskan, seperti dalam pondok pesantren, lalu menjadi kebiasaan yang sudah mengendap dalam diri sehingga dalam setiap situasi dan kondisi tertentu memang lebih memilih berjilbab meskipun tengah berada dalam komunitas yang tidak mengenakan jilbab; secara nyata motifnya memang bukan agama atau aspek spiritual yang muncul dalam diri, melainkan sebatas kenyamanan.

3. Motifnya adalah kewajiban agama atau lahir dari nilai-nilai spiritual; tidak mengenakan jilbab berarti menyalahi aturan agama dan tentunya berdosa.

Memperhatikan tiga poin di atas, dapat dipahami bahwa motivasi wanita muslimah mengenakan jilbab relatif beragam dan tidak tunggal; ada perbedaan yang relatif singnifikan antar satu pribadi dengan pribadi lainnya.

Dengan kata lain, kesimpulan yang terdapat dalam psikoanalisis Freud bahwa motivasi berbuat (contoh kasus dalam hal ini berjilbab) tidak bisa diterapkan secara general pada keseluhan pribadi, karena pada kenyataannya ada perilaku seseorang khususnya lagi yang berkenaan dengan ritual suci agama yang bermotifkan kesadaran dan atas dasar nilai spiritual.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa psikoanalisis Freud yang dalam hal ini dikaitkan dengan motivasi berjilbab wanita muslimah terkesan sangat terbatas, tidak bisa menerima kemungkinan lain yang ternyata kemungkinan tersebut lebih bisa dipertanggung jawabkan karena berpijak pada pengalaman empiris para pelakunya bahwa mereka punya motivasi beragam dan tidak sekedar pemenuhan kebutuhan id. 

Artinya, akan lebih bisa diterima seandainya psikoanalisis Freud tidak menafikan kenyataan beragamnya motivasi manusia dalam berbuat sesuatu sebagaimana hal ini banyak diakui oleh para pakar kenamaan lainnya. 

Misalnya, Abraham Maslow yang menyebutkan bahwa ada tiga kelompok motivasi manusia dalam bertingkah laku: (1) motivasi biologis, (2) motivasi psikologis, dan (3) motivasi meta-motivasi.

Itulah pemaparan studi kasus mengenai motivasi berjilbab di kalangan wanita muslimah, semoga artikel ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Jika ada hal yang ingin disampaikan silahkan tulis di kolom komentar. Terima kasih : )


Referensi bacaan
  • Ahmad, M. (2012). Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud. RELIGIA, 14(2).
  • Baharuddin. (2007). Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran. Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Freud, Sigmund. Ueber Psychoanalyse, terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia. 1979.
  • Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. 2004.
  • Sharf, Betty R. The Sociological Study of Religion, terj. Mahnun Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1995.

4 komentar untuk "Studi Kasus Motivasi Berjilbab di Kalangan Wanita Muslimah"

  1. Abis baca" artikel mu,sekalian bw malem hehe

    BalasHapus
  2. Terima kasih kujungannya mas, semoga ilmunya manfaat.

    BalasHapus
  3. Memang berjilbab itu peru dilakukan oleh kaum wanita muslim, dan juga dengan berjilbab menjadikan jati diri seorang wanita... Aku suka wanita berjilbab :v

    BalasHapus
  4. Nice comment, semoga ada peremepuan berjilbab yang membaca komennya terus tertarik:>

    BalasHapus