Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dominasi Pengetahuan

Initentangpsikologi.com - Schmandt (2009) pemikiran politik berawal di Yunani Kuno. Di sini bersamaan dengan pesisir Asia Kecil dengan puncak kesegaran dan prestasi kulturnya yang tinggi. Dari upaya ini, sebagaimana tercatat dalam rekaman sejarah, muncul suatu pola konsepsi politik dan sosial yang mendasar yang menjadi bagian warisan besar kebudayaan dan intelektual barat. 

Dominasi Pengetahuan
Ilustrasi (pexels.com/@cottonbro)

Sebab di Yunani Kuno ide pemerintahan demokratis pertama kali dibentuk dan dipraktikkan bahwa nilai-nilai kebebasan manusia, keadilan dan nasib individu diakui dan bahwa benih peradaban barat ditanamkan dan dipelihara. 

Di Yunani Kuno pula problem-problem "prenial" manusia dan negara pertama kali diangkat ke permukaan. Tugas ini demikian baik dilaksanakan sehingga starting point yang tepat bagi analisis problem-problem sosial dan politik kuno (suatu kebijakan yang membuktikan kemampuan survive dan berkembang selama lebih dari 2000 tahun). 

Pada inti pemikiran Yunani terletak manusia politik. Manusia sebagai anggota masyarakat sipil (sebagian partisipan dalam urusan publik) sebagai pelaku kehidupan masyarakat dan sebagai dasar bagi semua ini. Manusia sebagai makhluk rasional dan moral. 

Cukup signifikan, bangsa Yunani menyadari bahwa kontribusi utama individu kepada kehidupan publik adalah kepribadiannya yang berkembang hingga terpenuhi potensialitasnya dan bahwa fungsi pokok negara baginya adalah untuk mengarahkannya dalam tugas penyempurnaan diri.

Baca Juga: Pengetahuan dalam Konstruk Politik

Foucault (2002) ketika masih menjalani kuliah pada awal tahun 1950-an, ia melihat bahwa salah satu masalah besarnya yang muncul masa itu adalah status politik ilmu pengetahuan dan fungsi-fungsi ideologinya yang dapat dipakai. 

Menurut Foucault ini bukan seperti usaha Lysenko yang mendominasi segala sesuatu, namun ia percaya bahwa di sekitar kejadian-kejadian yang "kotor" itu yang selama ini terkubur dan tersembunyi dengan hati-hati terdapat pertanyaan-pertanyaan menarik yang seluruhnya menggusarkan. 

Foucault juga mengatakan, ini semua dapat disimpulkan dengan dua kata: kekuasaan dan pengetahuan. Ia percaya ketika menulis madness and civilization (kegilaan dan peradaban), dirinya berada di dalam cakrawala pertanyaan-pertanyaan menggusarkan tersebut. 

Bagi Foucault, masalah ini dapat dikatakan sebagai berikut: apabila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan seperti fisika teoritis atau kimia organik, individu menghadapi masalah mengenai relasinya dengan berbagai struktur politik dan ekonomi masyarakat. 

Dalam artian, tidakkah mereka malah akan menghadapi sebuah pertanyaan rumit yang berlebih-lebihan? Tidakkah ini berarti menempatkan sebuah batas di mana penjelasan-penjelasan yang mungkin ada tidak lagi memiliki kesempatan naik lebih tinggi? 

Namun, sebaliknya, jika individu mengambil bentuk pengetahuan (savoir) seperti psikiatri, tidakkah pertanyaan menjadi lebih mudah dijawab karena profil epistemologis psikiatri merupakan sesuatu yang lebih rendah dan karena praktik psikiatri dihubungkan dengan seluruh institusi, pencapaian ekonomi, dan masalah-masalah politik tentang regulasi sosial?

Pertanyaan yang sama inilah yang ingin Foucault ajukan mengenai kedokteran dalam The Birth of the Clinic (kelahiran klinik): kedokteran tentu lebih memiliki perlindungan ilmiah yang lebih solid daripada psikiatri, namun ia jelas-jelas terperangkap dalam struktur-struktur sosial.

Yang lebih mengejutkan bagi Foucault pada masa-masa itu adalah bahwa pertanyaan yang ia geluti tersebut sama sekali gagal membuat orang-orang yang ia tuju tertarik. Mereka cenderung menganggapnya sebagai sebuah masalah yang secara politik tidak penting dan secara epistemologis vulgar.

Baca Juga: Perilaku Belajar Menurut Teori Psikososial Erikson

Foucault (2011): "teknik interpretasi yang sudah kita kenal, mulai dari tata bahasa Yunani hingga masa kini". 

Bagi Foucault semua itu bisa terwujud dengan cara memberikan pengantar umum pada ide menyusun sejarah teknik interprestasi ini sebagai berikut:

Pertama, kecurigaan bahwa bahasa tidak menyatakan maksud yang sesungguhnya. Makna yang ditangkap seseorang dan yang terkandung di dalamnya barangkali pada kenyataannya hanya merupakan suatu penyempitan makna, yang justru melindungi, membatasi, dan bahkan menciptakan pergeseran makna. 

Pada akhirnya akan menjadi dua pengertian sekaligus: makna yang makin menguat dan makna yang “mendasar” inilah yang disebut sebagai Allegoria (alegori) dan huponia dalam tata bahasa Yunani.

Kedua, bahasa melahirkan kecurigaan yang lain lagi: bahasa telah melampaui bentuknya yang paling verbal dengan berbagai cara, dan di dalamnya tercakup hal-hal lain dalam dunia lisan yang bukan bahasa.

Dua kecurangan yang sudah diketahui dengan jelas tersebut, yang salah satunya muncul pada masa Yunani, masih belum hilang juga. Mereka masih ada sampai kini, sejak peradaban dunia mulai meyakini lagi, khususnya pada abad 19, bahwa gerakan tubuh membisu, bahwa kesakitan, dan semua keributan di sekitar dapat pula berbicara. 

Lagi pula individu-individu juga masih saja mendengarkan semua bahasa yang mungkin ada. Foucault mencoba untuk mengerti bahwa melalui kata-kata, sebuah wacana akan menjadi sesuatu yang lebih esensial. Ia juga percaya bahwa setiap kultur atau setiap bentuk kebudayaan di peradaban barat memiliki sistem interpretasi, teknik, metode dan caranya sendiri dalam usaha untuk menerka maksud lain dari apa yang terkandung dalam bahasa. 

Juga dalam usaha membuktikan bahwa ada bahasa yang lain di luar bahasa itu sendiri. Hal itu kemudian tampak sebagai usaha untuk membuka wadah pembuat sistem atau “tabel” , yang seharusnya sudah dilakukan di abad 17, atas semua sistem interpretasi.

Baca Juga: Memahami Definisi Pendidikan Karakter Serta Tujuannya

Sebenarnya dalam pandangan abad 20, semua jaringan kesamaan itu agak membingungkan dan rumit. Nyatanya, bahan-bahan persamaan di abad 16-an sudah diatur sedemikian rupa. Dan setidaknya ada lima pikiran yang sudah terdefinisi:

1. Conventeria, yakni pemikiran atas konformabilitas, yang merupakan usaha penyesuaian.

2. Symparheia, yakni pemikiran simpati, yang merupakan identitas kemunculan dalam substansi pembeda.

3. Pemikiran emulation, yang merupakan satu paralelisme yang sangat menarik atas atribut dalam substansi pembeda atau mengada, seperti halnya satu atribut yang ada pada seseorang menjadi cermin bagi yang lainnya.

4. Signature, pemikiran tanda tanya. Yakni sesuatu yang ada di antara hal-hal yang tampak dari seorang individu, namun menjadi citra atas hal yang tak tampak dan tersembunyi.

5. Dan selanjutnya tentu saja, Analogi, yakni identitas hubungan antara dua atau lebih substansi pembeda.

Said (2010) dalam salah satu karyanya yang fenomenal "Prison Notebooks", Gramsci menyatakan; “titik tolak yang sebenarnya dari kerja kritik adalah kesadaran akan jati diri, sedangkan mengenali diri sendiri merupakan hasil akhir dari proses sejarah, yang mengisyaratkan tentang ketidak terbatasan jejak dalam diri seseorang, tanpa menyisakan sedikitpun daftar-daftar inventaris.” 

Inilah salah satu terjemahan inggris dari karya Gramsci tersebut. Entah secara misterius, si penerjemah justru berhenti sampai pada kalimat itu saja, padahal dalam teks Italianya yang asli, pernyataan Gramsci itu diakhiri dengan kata-kata: “oleh karena itu, kita wajib untuk sedari awal menghimpun inventaris-inventaris tersebut.

 

Penulis: Nadiah Admar (1707016009)

Posting Komentar untuk "Dominasi Pengetahuan"