Perempuan dan Norma Sosial
Initentangpsikologi.com - Perbincangan tentang perempuan tidak akan pernah ada habis-habisnya, karena perempuan seolah-olah semakin diperbincangkan semakin nampak kecantikannya.
Ilustrasi (pexels.com/@aykutbingul) |
Ketika perempuan disandingkan dengan norma sosial, maka perempuan memiliki makna entitas yang berbeda seolah dia tidak memiliki kedirian yang utuh, sebab diharuskan mengikuti keinginan norma yang cenderung memaksa sifatnya.
Perempuan sudah tidak diartikan sebagai bentuk seks yang memiliki bentuk biologis yang berbeda, tapi dia adalah entitas yang terikat dengan kepentingan sosial. Perlu diketahui juga bahwa seks dan gender merupakan dua hal yang berbeda.
Dayakisini & Yuniardi (2012), seks adalah perbedaan biologis dan fisiologis antara laki-laki dan perempuan, dengan perbedaan yang mencolok pada perbedaan anatomi dan sistem reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
Identitas seksual adalah kesadaran dan pengetahuan tentang seks dan peran seksual yang dimiliki individu. Misalnya identitas seksual perempuan mencakup kesadaran yang dipunyai tentang potensinya untuk reproduksi dan pengetahuannya tentang perilaku-perilaku yang mengarah pada kehamilan.
Sementara gender merupakan perilaku dan pola-pola aktivitas yang dianggap cocok atau pantas bagi pria dan wanita oleh suatu masyarakat atau budaya. Misalnya di suatu budaya menilai hanya perempuan yang cocok memakai rok dan laki-laki tidak memakai rok.
Baca Juga: Teori Gender dalam Psikologi Sosial
Dayakisini & Yuniardi (2012), gender merupakan hasil konstruksi yang berkembang selama masa anak-anak sebagaimana mereka diasosialisasikan dalam lingkungan mereka. Adanya perbedaan reproduksi dan biologis mengarakan pada pembagian kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan ciri-ciri sifat dan karakterisktik psikologis.
Faktor-faktor yang terlibat dalam memahami budaya dan gender tidak statis fundimensional. Sesungguhnya keseluruhan sistem itu dinamis dan saling berhubungan dan memperkuat suatu unit yang linier dengan pengaruh yang berlangsung dalam satu arah, dan semua ini diperoleh dalam kehidupan kita sendiri. Kehidupan dari sistem ini diperkuat oleh suatu perekat yang kita kenal sebagai budaya.
Sebagai konsekuensinya, budaya yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Satu budaya mungkin mendukung kesamaan antara laki-laki dan perempuan, namun budaya lainnya tidak mendukung kesamaan tersebut. Dengan demikian budaya mendefinisikan atau memberikan batasan mengenai peran, kewajiban, dan tanggung jawab yang cocok bagi laki-laki dan perempuan.
Dayakisini & Yuniardi (2012), ada kesepakatan yang luas dari hasil-hasil penelitian bahwa stereotip gender (karakteristik psikologis) adalah universal. Demikian pula ditemukan ada perbedaan budaya dalam menilai karakteristik laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: Teori Perbandingan Sosial dalam Psikologi Sosial
Hasil penelitian William dan Best (1982) menunjukkan bahwa beberapa negara (seperti Jepang dan Afrika Selatan) menilai karakteristik laki-laki lebih menguntungkan (positif) daripada perempuan. Sementara beberapa negara lain lebih menilai positif karakteristik wanita (misal Italia dan Peru).
Dalam studi lainnya, William dan Best (1990) meneliti keputusan tentang seharusnya seperti apa laki-laki dan perempuan itu, apa yang seharusnya mereka lakukan, dan sebagainya.
Ini tidak hanya semata menyangkut keputusan tentang gender dan stereotip, tetapi keputusan tentang ideologi peran gender (sesuai keyakinan normatif tentang seperti apa seharusnya laki-laki dan perempuan, atau tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan).
Nah, dalam studinya, William dan Best meminta subjek-subjek dari 14 negara untuk melengkapi objective checklist yang berisi pernyataan-pernyataan yang saling berlawanan, yang disebut sebagai kutub “tradisional” (penggambaran peran gender yang membedakan karakteristik psikologis laki-laki dan perempuan).
Hasilnya menunjukan bahwa skor egalitarian (laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama) di temukan di Belanda, Jerman dan Finlandia. Sementara ideologi paling tradisional ditemukan di negara Pakistan, dan India. Pada dasarnya perempuan memang lebih cenderung untuk memiliki pandangan egaliter dibanding laki-laki.
Persoalan peran gender di antara negara-negara yang relatif tinggi sosial ekonominya, proporsi wanita yang belajar di perguran tinggi banyak, dan derajat orientasi individualisme yang lebih tinggi berkorelasi dengan skor egalitarian yang tinggi.
Selain itu, William dan Best (1990) juga menyelidiki perbedaan gender dalam konsep diri (self-concept). Hasilnya laki-laki di semua negara menunjukan rating diri (self) yang lebih feminism daripada gambaran gender tradisional pada laki-laki.
Temuan yang cukup menarik, bahwa baik laki-laki maupun perempuan menilai ideal-self (gambaran diri yang diharapkan) adalah yang lebih maskulin daripada diri mereka sendiri (real-self). Akibatnya, mereka menyatakan bahwa mereka ingin memiliki lebih banyak ciri-ciri sifat (traits) secara tradisional yang dikaitkan dengan laki-laki. Konsep diri laki-laki (male self-concept) cenderung dinilai lebih kuat daripada konsep diri perempuan (female self-concept).
Konsep diri pria lebih baik dari konsep diri wanita ditemukan oleh konstruksi budaya, bukan merupakan konstruksi bawaan dari lahir. Karena konsep diri baik atau buruk bukan ditentukan oleh status laki-laki atau perempuan, tapi ditentukan oleh kemampuan belajar individu dalam sosial.
Baca Juga: Pengaruh Kelompok pada Perilkau Komunikasi
Dayakisini & Yuniardi (2012), dimensi masculinity menunjukkan tingkatan atau sejauh mana suatu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau nilai seksual tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis.
Masyarakat yang memiliki dimensi masculinity menekankan pada nilai asertivitas, prestasi, permansi. Sehingga menganggap penting mengenai pendapat, pengakuan, kemajuan, dan tantangan. Sementara pada masyarakat yang memiliki dimensi feminism (masculinity yang rendah) lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan dan kinerja kelompok.
Adanya perbedaan dalam dimensi nilai budaya ini akan berpengaruh pada struktur organisasi dan corak hubungan dalam suatu organisasi. Individu yang biasa berada di dalam masyarakat yang memiliki masculinity tinggi maka perbedaan antara laki-laki dan perempuan menjadi menonjol, remaja laki-laki mengharapkan karir pekerjaan yang bagus dan kurang dapat mentoleransi kegagalan.
Demikian pula, kebutuhan dan tujuan organisasi dipandang sebagai alasan yang sah untuk mencampuri kehidupan pribadi. Pada umumnya wanita yang mendapat gaji atau penghargaan yang sama dengan pria statusnya lebih unggul, lebih berkualitas dan lebih asertif. Demikian pula, menager atau supervisor yang dianggap baik adalah yang memiliki perilaku dapat memberi penghargaan, pengakuan dan memberi inspirasi.
Sementara pada masyarakat yang memiliki dimensi feminity menganggap bahwa kerja yang baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain dan kurang mengutamakan kepentingan diri sendiri. Sehingga manager yang baik misalnya, diharapkan memiliki keterampilan dalam memberikan dukungan (supporting), mentoring dan membentuk tim kerja yang solid (team building skill).
Berdasar hasil penelitian Hofstede, negara-negara yang memiliki skor dimensi masculinity (MA) tinggi di antaranya adalah Jepang, Austria dan Venezuela. Sedangkan yang memiliki MA rendah (berarti memiliki nilai feminity tinggi) adalah Denmark, Belanda, Norwegia dan Swedia.
Penulis: Nada Setiyawati (1707016011)
Posting Komentar untuk "Perempuan dan Norma Sosial"