Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan dan Modernisasi

Initentangpsikologi.com - Gerakan untuk setara antara laki-laki dan perempuan dimotori oleh zaman modern yang memberikan kritikan tajam terhadap perlakuan kaum laki-laki terhadap perempuan yang kerap kali hanya memandang sebelah mata.

Perempuan dan Modernisasi
Ilustrasi (pexels.com/@pixabay)

Hingga pada akhirnya gerakan modern memunculkan teori feminisme yang menuntut kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal.

Turner (2012) titik tolak konvensional bagi penjelasan-penjelasan tentang kemunculan teori feminisme di dunia barat adalah karya Mary Wollstonecraft, terutama A Vindication of the Rights of Woman, yang diterbitkan pada tahun 1792 dan dipersembahkan untuk Talleyrand dalam satu tulisan yang berbunga-bunga yang mencakup pernyataan bahwa:

Tak pelak lagi, di Prancis terdapat pengetahuan tersebut (teori feminisme) lebih luas dan umum dibandingkan di bagian manapun di dunia Eropa (Wollstonecraft, 1970).

Namun sekitar 20 tahun kemudian pandangan Wollstonecraft tentang perilaku orang Prancis akan kesetaraan laki-laki dan perempuan mungkin sudah tak terlalu berbunga-bunga lagi, mengingat sikap Napoleon yang cenderung tidak egaliter (setara) terhadap perempuan.

Tetapi apa yang penting tentang karya Wollstonecraft dalam konteks abad ke-21 adalah keyakinan bahwa derajat emansipasi perempuan berhubungan dengan kemajuan umum dan pencerahan tentang suatu masyarakat secara keseluruhan.

Dalam hal ini Wollstonecraft memiliki pandangan yang sama dengan Karl Marx bahwa posisi perempuan dalam masyarakat harus dipikirkan dalam pengertian masyarakat itu sebagai satu keseluruhan yang utuh.

Dengan demikian Wollstonecraft tidak seperti, katakanlah, penulis berikutnya mengenai perempuan, seperti John Stuart Mill yang memiliki suatu pandangan bersifat organik tentang masyarakat: "perbaikan dari satu bagian kecil pada dunia sosial bukanlah soal mengubah satu konteks itu saja, melainkan mengubah seluruh pertimbangan dan penataan-ulang pada dunia sosial itu".

Baca Juga: Perempuan dan Norma Sosial

Dinamika dalam teori sosial tentang perempuan dapat ditemui di pembahasan-pembahasan populer sepanjang abad ke-19 dan sebagian besar abad ke-20.

Di satu sisi terdapat orang-orang terutama di negara Inggris dan Amerika Serikat, yang melihat dan menyuarakan perbaikan dalam hal pendidikan dan status sipil kaum perempuan sebagai bagian dari suatu lintasan dari kemajuan sosial yang bersifat umum. Sementara yang lain memandang posisi sosial perempuan dalam masyarakat sebagai struktur masyarakat itu sendiri.

Kelompok pertama yang ada di negara Inggris meliputi John Stuart Mill, penulis-penulis besar perempuan mengenai fiksi abad ke-19 seperti Brontes, Eliot, dan Elizabeth Gaskell, dan orang-orang yang mengkampanyekan pendidikan tinggi dan pendidikan profesional bagi kaum perempuan. 

Mereka bersama-sama dengan para pejuang hak bagi perempuan di kedua belahan Atlantik memperjuangkan perubahan-perubahan dalam posisi kaum perempuan sebagai perbaikan-perbaikan yang relevan dalam masyarakat secara keseluruhan.

Dalam salah satu karyanya, Marx dan Engels menyatakan posisi perempuan dapat dilihat sebagai sesuatu yang bisa diubah di dalam konteks masyarakat borjuis. Sementara dalam the origins of the family property and the state, Marx dan Engels menyuarakan suatu hubungan antara struktur sosial masyarakat secara keseluruhan dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. 

“Satu analisis yang menuntut adanya suatu emansipasi kaum perempuan ke dalam arah kerja publik yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan-kebijakan terhadap perempuan di semua masyarakat negara sosialis.” (Marx dan Engels 1984).

Baca Juga: Teori Gender dalam Psikologi Sosial

Teori yang paling banyak berjasa atas terjadinya pergeseran persepsi tentang sifat asli laki-laki dan perempuan yang tak bisa diubah adalah Sigmund Freud, yang mana gagasan-gagasannya berisi tentang bagaimana individu-individu dapat mempelajari dan memperoleh seksualitasnya untuk menentang ide-ide yang sudah berumur ratusan tahun tentang maskulinitas dan feminitas itu.

Freud terkenal dengan pernyataannya bahwa; Freud tidak tahu apa yang diinginkan oleh kaum perempuan, tetapi bahkan sekalipun Freud merasa bahwa dirinya tidak bisa memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan atas pernyataan-pernyataannya, yang bisa dan benar-benar dilakukannya adalah memberi kaum perempuan satu bagian yang penting atau krusial dalam hubungan-hubungan sosial, baik secara material maupun simbolik, yang dengannya individu-individu lalu mendapatkan identitas seksual masing-masing.

Seperti dikatakan oleh penulis feminis tentang Freud (Mitchell, 1976; Sayers 1982), sosok ayah selalu menduduki peran yang relatif lebih penting dalam penjelasan Freud tentang dunia psikis dibandingkan sosok ibu, tetapi sekalipun manusia mendapatkan identitas “kelelakiandan atau “keperempuanadalah bukan berarti identitas tertentu tanpa masalah.

Setelah Freud dan diintregrasikannya aspek-aspek karyanya dan karya para psikoanalis lainnya ke dalam institusi-institusi publik (contoh yang paling jelas adalah John Bowlby tentang kedekatan ibu-anak, 1973), orang tidak lagi berpandangan bahwa istilah-istilah laki-laki, perempuan, jantan, dan betina merupakan sesuatu yang ditugaskan untuk menjaga kemungkinan makna dan kemungkinan-kemungkinan perbedaan.

Meski muncul banyak kritik terhadap teori Freud baik dari kalangan feminis maupun non-feminis, tetapi karyanya dan reklamasi khusus atas karya itu oleh Juliet Mitchell membuka luas praktik-praktik di dunia material dan kajian tentang representasi dari dunia simbolik yang menghadirkan diskusi dalam ilmu pengetahuan, sehingga ada pertentangan antara pandangan modernisme dan post-modernisme.

Baca Juga: Teori Bermain Modern, Teori Psikoanalisa Menurut Freud dan Erikson

Perempuan dan Modernisasi
Ilustrasi (pexels.com/@olly)

Sarup (2011) dalam sejumlah diskusi terakhir, dikatakan bahwa hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam perdebatan modernisme atau post-modernisme dan bahwa kaum feminis tidak banyak atau sama sekali tidak memiliki pendapat tentang post-modernisme.

Namun Meagan Morris percaya bahwa ide-ide yang membangkitkan pemikiran tersebut karena dimunculkannya narasi para kritikus laki-laki terutama yang saling merujuk dan menyebutkan bahwa jarangnya eksistensi kaum perempuan. 

Morris sangat merasakan diskriminasi yang mendasar, terus-menerus, dan berkesinambungan terhadap karya-karya perempuan dari bidang kajian politik dan intelektual yang sangat potensial.

Morris sakit hati pada para kritikus laki-laki yang menulis bibilografi tanpa menyebut karya Catherine Clement, Hlenene Cizous, Luce Irigaray, Shosana feman, Jane Gallon Sarah Kofman, Alice Jardine, Michele Le Deoueff, Gayatri Chakravorty Spivak, Jacqualine Rose dan penulis feminis lain.

Kata Morris, karena feminisme ikut berperan sebagai faktor yang memungkinkan wacana tentang post-modernisme, maka karya feminis (karya kaum perempuan) pantas digunakan untuk menerangkan diskusi post-modernisme.

Baca Juga: Teori Perbandingan Sosial dalam Psikologi Sosial

Feminisme dan post-modernisme muncul sebagai dua arus kultural dan politik paling penting selama dekade terakhir. 

Pertama, mari membahas persamaan keduanya; sama-sama menawarkan kritik yang dalam dan berdaya jangkau luas pada filsafat dan hubungan filsafat dengan kebudayaan yang lebih luas.

Keduanya berusaha mengembangkan paradigma kritik sosial baru yang tidak didasarkan pada dasar-dasar filsafat tradisional. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan. 

Kaum post-modern menawarkan kritik yang rumit dan kompleks pada fondasinonalisme dan esensialisme, tapi konsepsi kritik sosial mereka cenderung kurang kuat. Kaum feminis menawarkan konsepsi kritik sosial yang kuat, namun cenderung terjebak dalam fondasionalisme dan esensialisme. 

Nancy Fraser dan Linda Nicholson mengatakan masing-masing kecenderungan tersebut harus belajar satu sama lain; masing-masing memiliki sumber daya berharga yang dapat digunakan untuk membantu kelemahan yang lainnya

Baca Juga: Teori Konstruk Kepribadian George Kelly

Penulis akan memberikan sedikit komentar pada artikel Nancy Fraser dan Linda Nicholson Social Criticsne without Philosophy karena pembahasan ini sepertinya akan bermanfaat sebab artikel tersebut memberikan ikhtisar contoh-contoh teori feminis yang sekarang dipandang (reduktif dan esensialis) serta pada akhirnya, menawarkan beberapa saran tentang integrasi feminisme dan post-modernisme.

Kaum feminis, seperti halnya kaum post-modern, berusaha mengembangkan paradigma kritik sosial baru yang tidak didasarkan pada dasar-dasar filsafat tradisional. Namun, imperative praktis membuat beberapa pemikir feminis mengadopsi model teorisasi yang mirip dengan bentuk-bentuk metanarasi filsafat yang mana sebelumnya sudah dikritik kaum post-modern.

Dalam beberapa tulisan awal feminis, teori sering dipahami sebagai pencarian faktor kunci yang akan menjelaskan seksisme secara lintas-budaya dan mejelaskan secara keseluruhan makna kehidupan sosial.

Banyak teori sosial feminis menggunakan aspek-aspek tertentu dari pemikiran esensialis; teori-teori tersebut tidak memberikan perhatian yang memadai pada keanekaragaman kultural dan historis. Hal tersebut secara keliru justru dapat menggeneralisasi aspek-aspek pemikiran, masyarakat, budaya, kelas, ras, atau gender zamannya.

Nancy Fraser dan Linda Nicholshon menyebut tiga contoh teori feminis yang menggenaralisasi itu. Contoh pertama; pada akhir 1960-an, banyak pemikir marxis laki-laki mengatakan bahwa persoalan gender merupakan persoalan sekunder karena dapat dimasukkan kedalam persoalan kelas.

Melawan pandangan tersebut, tokoh feminis radikal (aliran feminisme yang berfokus pada hal-hal mendasar atas ketimpangan yang dialami oleh perempuan), Shulamith Firestone, dengan manuver taktis mengajukan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk menjelaskan persoalan seksisme.

Hal tersebut memungkinkan Shulamith Firestone menyerang pemikiran marxis dengan mengatakan bahwa konflik gender merupakan bentuk konflik paling mendasar dan sumber berbagai konflik yang lain, termasuk di dalamnya konflik kelas.

Namun dari sudut pandang kaum post-modern, perujukan pada biologi untuk menjelaskan fenomena sosial dianggap esensialis dan monokausal. Perujukan tersebut dipandang esensialis karena diproyeksikan pada semua kualitas laki-laki dan perempuan yang berkembang pada kondisi sosial yang secara historis spesifik.

Perujukan tersebut dinilai monokausal karena memandang serangkaian ciri (seperti filosofi perempuan atau hormon laki-laki) untuk menjelaskan penindasan perempuan di semua kebudayaan.

Baca Juga: Teori-Teori Tentang Belajar

Contoh kedua diambil dari antropologi. Pada 1970, para antropolog mulai mengatakan bahwa perujukan pada biologi tidak memungkinkan kita memahami keanekaragaman bentuk yang disebabkan, baik gender maupun seksisme, di berbagai kebudayaan.

Salah satu pendekatan yang menjanjikan, pendekatan Michelle Rosaldo, didasarkan pada argumen yang umum di semua masyarakat, yaitu pemisahan wilayah domestik dan wilayah publik”

Wilayah domestik diasosiasikan dengan perempuan dan wilayah publik diasosiasikan dengan laki-laki. Meskipun fokus pada perbedaan wilayah aktivitas laki-laki dan perempuan, teori itu jelas-jelas esensialis dan monokausal.

Teori tersebut mempostulasikan eksistensi wilayah domestik disemua masyarakat dan dengan demikian mengasumsikan pada dasarnya aktivitas perempuan memiliki isi dan makna yang sama di semua kebudayaan.

Contoh ketiga adalah teori yang dikembangkan Nancy Chodorow. Teori ini mengasumsikan aktivitas lintas-budaya, pengasuhan anak, sebagai objek penelitian yang relavan.

Ia menunjukan pertanyaan: bagaimana aktivitas pengasuh anak menciptakan generasi perempuan yang baru dengan kecenderungan psikologis pada ibu dan mengapa generasi laki-laki yang baru tidak demikian? Ia menjawab dengan pengertian identitas gender: pengasuhan anak oleh perempuan menghasilkan anak perempuan dengan pemahaman diri relasionaldan laki-laki tidak relasional.

Kritik pada teori tersebut mengatakan bahwa teori itu mengasumsikan eksistensi aktivitas tunggal, pengasuhan anak, dan menetapkan bahwa aktivitas tunggal ini melahirkan dua bentuk pemahaman diri yang berbeda, yang satu relatif jamak bagi perempuan di berbagai kebudayaan, dan yang lain juga relatif jamak bagi laki-laki di berbagai kebudayaan.

Dari perspektif post-modern, pemikiran Chodorow bersifat esensialis karena mengatakan bahwa di mana-mana perempuan berbeda dari laki-laki dalam perhatian mereka yang lebih besar pada interaksi relasional.

Gagasan pemahaman diri mendalam, lintas-budaya, yang dispesifikasikan secara berbeda antara laki-laki dan perempuan itu sama dengan problematik. Lebih lanjut, perspektif post-modern memberikan substansi pada konsep persaudaraan perempuan (sisterhood), konsep identitas geder dapat menindas perbedaan antara perempuan.

 

Penulis: Nada Setiyawati (1707016011)

Posting Komentar untuk "Perempuan dan Modernisasi"