Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cyberspace dalam Kemajuan Teknologi

Initentangpsikologi.com - Apa itu cyberspace? Cyberspace atau dunia maya merupakan media elektronik dalam jaringan komputer yang sering digunakan untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal-balik secara daring (terhubung langsung).

Cyberspace dalam Kemajuan Teknologi
Ilustrasi (pexels.com)

Dunia maya ini merupakan integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan komputer (sensor, tranduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, pengontrol) yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi seperti komputer, handphone, instrumensi elektronik dan lainnya, yang tersebar di seluruh dunia secara interaktif.

Kemudian seiring berjalannya waktu terjadilah pergeseran penggunaan komputer yang pada akhirnya membuat penggunanya dapat saling terhubung (berinteraksi) serta adanya penemuan website oleh Tim Berners-Lee.

Cyberspace menjadi sebuah dunia baru bagi pengguna jejaringnya, menghubungkan antar masyarakat untuk saling mengeksplor dan membagi aktivitas keseharian yang jelas berbeda dengan apa yang dilakukannya sehari-hari.

Komunikasi cyberspace menembus ruang dan waktu yang begitu cepat dan instan dibandingkan dengan kehidupan realitas. Karenanya orang-orang bisa berbagi informasi dan saling bertukar kabar hanya dalam beberapa detik tanpa harus memperhitungkan jarak dan waktu.

Baca Juga: Teori Komunikasi Melalui Jaringan Internet

Contoh Cyberspace dalam Kemajuan Teknologi

Dalam bidang Perawatan Kesehatan (Psikologi Klinis “cybertherapy”)

Pomerantz (2014); dalam berbagai profesi khususnya di bidang perawatan kesehatan, seperti psikologi klinis telah dipengaruhi secara signifikan oleh kemajuan teknologi selama beberapa tahun terakhir, yang sangat inovatif dan kontroversial adalah alat-alat teknologi di dalam penemuan langsung pelayanan psikologis.

Psikologi klinis kontemporer dapat melakukan penilaian dan penanganan melalui komputer atau handphone sebagai pelengkap atau pengganti pertemuan tatap muka tradisional (bertemu langsung) dengan klien (Eonta dkk, 2011).

Pemakaian teknologi ini, dan khususnya internet, oleh psikologi klinis sering disebut sebagai cybertheraphy. Tetapi sering disebut juga sebagai little health dan little mental (Mohr, 2009; Yuen, Goetter, & Forman, 2012).

Meskipun metodologi pengumpulan datanya belum sempurna, akan tetapi cybertherapy tampaknya bekerja dengan baik sebagaimana bentuk-bentuk psikoterapi yang lebih tradisional untuk beragam gangguan. Bahkan beberapa studi mencapai kesimpulan tentang efektivitas cybertherapy pada penanganan tertentu.

Sebagai contoh, Reger dan Gahm (2009) mengemukakan bahwa penanganan kognitif-behavioral untuk gangguan kecemasan sama efektifnya ketika diberikan secara langsung atau melalui komputer. Serupa dengan itu, Spencer dkk, (2011) menemukan bahwa pemberian terapi kognitif-behavioral kepada remaja dengan gangguan kecemasan sama efektifnya antara pemberian secara tatap muka atau tidak tatap muka.

Banyak intervensi cybertherapy yang fokus pada psikologi kesehatan yang telah tersedia (Castelnuvo & Simpson, 2011), dan sebuah tinjauan tentang manfaat berbagai psikoterapi di bidang ini menemukan efektivitas intervensi yang targetnya adalah nyeri dan sakit sebanding dengan intervensi langsung. Tetapi sebagian intervensi psikologi kesehatan lain ketika diterapkan melalui komputer tidak seefektif dengan diterapkan secara langsung.

Pomerantz (2014); ketika para psikolog klinis menganut teknologi-teknologi baru dan memasukkan ke dalam praktik mereka, berbagai isu profesional termasuk isu etik dan praktis terus menerus timbul (Koocher, 2009). Sebagai respons, profesi ini berusaha memastikan bahwa pelayanan yang diberikan tetap aman, efektif, dan etis (Baker & Buka, 2011).

Kode etik Assosiasi Psikologi Amerika (APA) memasukkan beberapa kemutakhiran yang dirancang untuk menangani semakin banyaknya penggunaan alat-alat teknologi baru. Sebagian ahli di bidang ini juga telah mengusulkan pedoman-pedoman etis bagi para psikologi yang berpraktik online, melalui konferensi video, atau melalui sarana serupa lainnya.

Ketika praktik berbasis teknologi berkembang, mereka yang memberikannya, seharusnya mengikuti beberapa saran fundamental berikut ini (Barnett & Scheetz, 2003; Raguesea, 2012; Rummel & Joyce, 2010):

1. Mendapatkan persetujuan tertulis dari klien tentang pelayanan yang mereka terima, teknologi yang digunakan untuk memberikan pelayanan dan kerahasiaan komunikasi tersebut.

2. Ketahui dan ikuti undang-undang yang berlaku tentang telehealth (distribusi layanan dan informasi terkait kesehatan secara jarak jauh dengan pasien) dan telemedicine (layanan klinis jarak jauh seperti diagnosis dan pemantauan).

3. Ketahui dan ikuti kode etik terutama bagian yang menyangkut isu-isu teknologi.

4. Pastikan kerahasiaan klien sejauh mungkin dengan menggunakan enkripsi. Dan senantiasa mutakhirkan tentang bagaimana informasi klinis yang mungkin akan diakses oleh para peretas dan teknik-teknik untuk menghentikannya.

5. Pahami bagaimana isu-isu budaya mungkin terlibat. Psikolog perlu melakukan upaya khusus untuk mengakses latar belakang budaya klien yang mereka layani.

6. Jangan berpraktik di luar cakupan keahlian anda. Sekadar memiliki izin tidaklah cukup, karena pelatihan lanjutan klinis atau teknologi mungkin dibutuhkan untuk menggunakan teknik tertentu.

7. Ketahui tentang informasi darurat di masyarakat tempat klien anda mencari pelayanan. Sebuah krisis yang terkait dengan bunuh diri atau psikosis, misalnya mungkin memerlukan intervensi tatap muka sehingga psikolog yang bersangkutan mungkin terlalu jauh untuk dijangkau.

8. Ikuti terus perubahan pada undang-undang, kode etik, atau teknologi yang relevan dengan praktik anda.

Pro-Kontra Teknologi dalam Bidang Psikologi

Banyak isu etik tertentu telah timbul ketika penggunaan teknologi di bidang psikologi klinis meluas. Isu-isu ini sudah mulai bahkan sebelum penilaian atau terapi, yakni ketika identitas klien dapat dipertanyakan. 

Artinya bagaimana psikolog itu dapat memastikan bahwa klien faktanya adalah orang yang menyetujui pernyataan tertulis, yang merespon setiap item-item penilaian, atau yang memberikan komentar selama terapi online? 

Bahkan jika identitasnya terkonfirmasi, psikolog yang bersangkutan harus peduli dengan kerahasiaan di dalam transmisi elektronik, membuat interpretasi tepat tanpa adanya kemungkinan untuk mengamati isyarat-isyarat non-verbal seperti pada pertemuan tatap-muka, dan tetap kompeten, bukan hanya soal keterampilan klinis tetapi juga keterampilan teknis.

Efektivitas penanganan cybertherapy sendiri bergantung pada sejumlah faktor (Marks & Cavanag, 2009):

1) Cybertherapy mana yang digunakan dan untuk gangguan yang mana.

2) Dengan perangkat apa dan melalui saran apa cybertherapy diberikan? Apakah komputer, telepon genggam, email, teks, konferensi video, atau yang lain.

3) Di dalam lingkungan apa cybertherapy diberikan? Apakah rumah, klinik, sekolah, tempat umum (perpustakaan, tempat kerja, cafe, dan lainnya) atau di tempat yang lain?

4) Bagaimana klien menemukan cybertherapy? Apakah mereka menerima rujukan tertentu dari sumber yang memiliki pengetahuan cukup atau mencari-cari di internet?

5) Apakah cybertherapy memiliki dukungan sumber daya manusia, dan apakah dukungan dimonitor kualitasnya?

Meskipun banyak terapis tetap berhati-hati dengan itu dan sama sekali tidak memanfaatkannya, praktik terapi dan diagnosis berbasis teknologi mau tak mau akan tetap meningkat dan mungkin akan terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan menjadi lebih meluas. 

Seiring perkembangannya, badan penelitian yang ada saat ini mengenai efektivitas cybertherapy jelas akan tumbuh juga (Maheu dkk, 2005), dan pedoman serta pelatihan untuk penggunaannya akan meluas. Di antara pertanyaan-pertanyaan yang lebih menarik untuk dijawab adalah alat-alat teknologi pada aliansi klien-terapis (Rummel & Joyce, 2010). 

Seperti yang kita ketahui pada konseling tradisional, hubungan profesional yang kuat antar klien dan terapis krusial bagi setiap terapi yang sukses. Sejauh terapi melalui email, teks, website, atau konferensi video dapat mempertahankan atau memperkuat hubungan antara klien dan terapis mungkin akan menjadi tidak masalah.

 

Penulis: Ila Azizah (170701005)

Posting Komentar untuk "Cyberspace dalam Kemajuan Teknologi"