Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Self Esteem dalam Perspektif Suku Madura

Initentangpsikologi.com - Seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat beragam suku yang hidup di dalam satu negara kesatuan ini dengan saling menghormati dan menghargai

Dengan menghormati dan menghargai bangsa atau masyarakat lain maka hidup akan tentram dan tenang tanpa ada kesenjangan sosial. Namun, ketika ada salah satu yang merasa terusik dengan adanya gangguan, suku tersebut akan membalas dengan adat yang telah tertanam di dalam dirinya.

Self Esteem dalam Perspektif Suku Madura
gambar (idntimes.com)

Suku Madura sebagai contoh ketika di antaranya ada yang terusik, mereka akan membalas dengan adat yakni dengan carok khas Madura tersebut, yang mana carok ini bisa membuat efek jera kepada pengusik. Ketika harga diri suatu suku dicela maka akan ada adat yang menantinya.

Self Esteem dalam Perspektif Suku Madura

Tradisi Carok

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat Madura memiliki ciri serta karakter khas dalam pola kehidupannya. Fenomena ini terbilang wajar karena Madura merupakan wilayah yang didiami oleh masyarakat yang memiliki berbagai-macam perbedaan dibanding masyarakat di wilayah lainnya.

Perbedaan tersebut meliputi warna kulit, bahasa, ras, dan bahkan agama. Menjadi wajar ketika pola kehidupan masyarakat Madura berbeda dengan pola kehidupan masyarakat di wilayah lainnya.

Salah satu dari beragam keunikan yang khas dan membudaya pada komunitas masyarakat Madura ialah tercermin dalam metode penyelesaian sengketa-sengketa tertentu yang terjadi antar masyarakat, yang lazim dikenal dengan sebutan “carok‟.

Dalam kasus-kasus tertentu masyarakat Madura lebih cenderung menyelesaikan dengan metode tersebut dibanding dengan menyelesaikannya melalui jalur litigasi, karena menurut mereka cara inilah yang dirasa impas dengan perbuatan yang telah orang lain lakukan terhadap dirinya.

Metode seperti ini telah berlangung sejak jaman dahulu dan terus terpelihara hingga saat ini. Dalam kondisi ini, bisa jadi metode tersebut bahkan dijadikan aturan hukum (versi adat) untuk menyelesaikan perkara-perkara tertentu pada masyarakat Madura.

Menurut A. Latif Wiyata menjelaskan bahwa carok merupakan tindakan atau suatu upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam (umumnya celurit) yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap melakukan pelecehan terhadap harga diri. 

Utamanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan perselingkuhan (gangguan terhadap istri), pencemaran nama baik (gangguan terhadap kehormatan), dan yang terakhir pembunuhan (tindakan balas dendam atas kematian kerabat dekatnya). Kesemua tindakan-tindakan tersebut menurut orang Madura merupakan perilaku menghina terhadap kehormatan dan harga diri.

Budaya Madura juga memiliki ke-khasan yang mana dianggap sebagai jati diri individual dan komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan yang salah-satunya sikap tetap memegang teguh harga diri.

Orang Madura sangat tidak rela apabila harga dirinya dilecehkan, dalam hal ini terdapat adagium “lebbhi bagus pote tolang katenbang pote mata” (lebih bagus mati daripada hidup menanggung malu). Salah satu upaya agar harga diri bisa pulih ialah dengan cara carok dengan tujuan utama membunuh orang yang telah menginjak harga dirinya.

Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa carok merupakan peristiwa yang dipelajari dan diajarkan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, masyarakat Madura seolah telah mengamini dan menganjurkan terjadinya carok ketika orang Madura merasa harga dirinya terlecehkan atau tidak dihargai.

Secara tidak langsung masyarakat Madura telah terbiasa mendengar, melihat, dan membicarakan tentang tindakan agresi yang disebut carok dalam kehidupan keseharian, sehingga memberi kesan kepada perilaku masyarakat Madura.

Orang Madura akan merasa sakit hati dan merasa terlecehkan manakala kehormatannya dicemari. Sakit hati tersebut tidak akan pernah terbayar kecuali ia bisa membunuh orang yang mencemarkan nama baiknya itu.

Dalam kondisi ini, terdapat ungkapan yang berbunyi “Lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara”, (Jika daging yang terluka masih bisa dijahit atau diobati, tapi jika hati yang terluka, tidak ada obatnya kecuali minum darah).

Selain sakit hati, terdapat peristiwa di mana lingkungan sekitar akan mencemooh dengan menganggap ta’ lake’ (bukan laki-laki) kepada seseorang yang sudah dilecehkan nama baiknya tetapi ia tidak melakukan carok.

Bahkan di daerah tertentu, orang yang tidak berani carok ketika dirinya dicemarkan, maka orang tersebut tidak pantas menyandang predikat sebagai orang Madura, “mon ta’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura” (kalau tidak berani carok jangan mengaku sebagai orang Madura).

Jadi, orang Madura melakukan carok, bukan semata tidak mau dianggap sebagai penakut, tetapi juga agar ia dianggap sebagai orang Madura.

Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu) atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an terdapat pergeseran bahwa carok kadangkala dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutali dan egois. Fenomena ini terjadi pada kaum laki-laki yang tidak mau disebut seperti kaum perempuan yang hanya bertengkar dengan mulut.

Kaum laki-laki membuat semboyan sendiri bahwa kaum perempuan mempunyai mulut dua sehingga suka bertengkar dengan kata-kata sedangkan kaum laki-laki mempunyai senjata sehingga sangat naif bahkan pecundang jika tidak bertengkar dengan senjata.

Konon di wilayah Madura pedalaman, tradisi carok itu sampai terun-temurun. Keluarga yang menjadi korban carok akan meyimpan baju yang bersangkutan (meninggal) pada tetangganya yang kelak akan diperlihatkan pada anaknya setelah dewasa, bahwa ayahnya mati karena carok atau dibunuh si X. 

Setelah itu anak yang bersangkutan akan menuntut balas dengan mencari dan membunuh pembunuh ayahnya dan begitu juga seterusnya sampai keturunan selanjutnya.

Fenomena carok sebagai salah-satu upaya penyelesaian sengketa dilakukan sebagai jalan terakhir dalam proses penyelesaian masalah, karena sebelum memutuskan untuk memilih jalan carok, terlebih dulu para pihak akan bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut, baik musyawarah antar keluarga ataupun musyawarah dengan pihak lawan (lobbying). 

Ketika semua jalan tersebut dianggap buntu dan tidak kunjung menemukan titik kompromi, barulah mekanisme carok digunakan sebagai metode penyelesaian sengketa yang terjadi.

Kalaupun pada akhirnya orang yang bersengketa memilih jalan carok sebagai penyelesaiannya, maka terdapat beberapa persiapan yang wajib dilakukan yang menjadi persyaratan mutlak, antara lain ialah mendapat restu dari segenap bala (keluarga), dilakukan di tempat yang sepi dan jauh dari jangkauan masyarakat umum, berpakaian adat Madura, menggunakan celurit sebagai senajata, tidak diperkenankan menggunakan senjata lain seperti linggis, pisau, cangkul, dan sebagainya. 

Celurit yang digunakan harus ditukar sebelum melakukan carok dan yang terakhir ialah menanyakan pesan-pesan apa yang nantinya perlu disampaikan kepada keluarga apabila ia kalah dalam duel carok.

Baca Juga: Peran Gender dalam Perspektif Suku Bugis

Analisis Psikologi Indigeneous

Kekerasan di Suku Madura dalam perspektif belajar sosial

Para teoritis melalui pendekatan teori belajar sosial mengemukakan bahwa kekerasan tidak berbeda dengan respon yang dipelajari lainnya. Pengertian kekerasan selalu berbeda bila dihadapkan pada kelompok mana yang dinilai.

Perbedaan pengertian kekerasan tersebut sangat terkait dengan budaya yang berlaku. Seperti halnya pada etnis Madura yang dikenal sebagai etnis yang dekat dengan kekerasan. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang fenomena kekerasan dalam budaya etnis Madura, yang akan dikupas dalam pendekatan teori belajar sosial.

Reinforcement

Salah satu yang utama dalam memunculkan proses belajar adalah reinforcement (penguatan). Bila suatu perilaku diberi hadiah kemungkinan besar individu untuk mengulangi tingkah laku tersebuut adalah sangat besar. Sedangkan apabila suatu perilaku diberi hukuman maka kemungkinan individu untuk mengulanginya adalah kecil.

Dalam budaya Madura misalnya tradisi carok, yaitu perkelahian sebagai komunikasi akhir dengan menggunakan senjata tajam yang berupaya menjatuhkan lawan untuk memperoleh social prestice.

Social prestice yang dimaksud adalah pemberian label sebagai pemenang atau orang yang jago dan memiliki kehebatan dalam bertarung. Dengan adanya hal tersebut, berarti bahwa masyarakat Madura menyetujui dan memberikan penghargaan bagi pemenang carok.

Dengan adanya tradisi carok (setelah melakukan musyawarah antar keluarga ataupun musyawarah dengan pihak lawan, dan bila semua jalan tersebut dianggap buntu dan tidak kunjung menemukan titik kompromi, barulah mekanisme carok digunakan sebagai metode penyelesaian sengketa yang terjadi) masyarakat Madura menyetujui bahwa carok (kekerasan) bukanlah suatu kejahatan.

 

Penulis: Analisa Fikarina (1707016043), Dwi Uji Hastuti (1707016052), Arinie Meuthia Meellati Al haqie (1707016079).

 

Referensi:

Susanto, E. S. E. (2012). Revitalisasi Nilai Luhur Tradisi Lokal Madura. KARSA: Journal of Social and Islamic Culture. 12(2), 96-103.

Rochana, T. (2012). Orang Madura: Suatu Tinjauan Antropologis. Humanis, 11(1), 46-51.

Rokhyanto, R., & Marsuki, M. (2016). Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura. EL HARAKAH (TERAKREDITASI). 17(1), 71-83.

Jufri, M. (2019). NILAI KEADILAN DALAM BUDAYA CAROK. Jurnal YUSTITIA: 18(1).

Taufik. (2005). Kekerasan dalam Budaya: Pelajaran dari Madura: Jurnal Berkala Ilmiah Berkain Psikologi, 7(1), 64-84.

Posting Komentar untuk "Self Esteem dalam Perspektif Suku Madura"