Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Budaya Siri, Uang Panai, dan Peran Gender dalam Perspektif Suku Bugis

Initentangpsikologi.com - Masyarakat suku Bugis merupakan salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan budaya dan adat istiadatnya. Terdapat nilai-nilai suku Bugis yang dapat diambil nilai-nilainya.

Peran Gender Dalam Perspektif Suku Bugis
gambar (sulsel.idntimes.com)

Dari begitu banyak kearifan lokal yang terdapat di suku bugis, ada satu sistem yang tidak biasa dengan sistem yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem gender yang diterapkan di masyarakat suku Bugis Makassar.

Masyarakat suku Bugis Makassar terdapat kepercayaan mengenai sistem lima gender, atau kata lain terdapat lima sistem gender yang berbeda. Jika di Indonesia mengakui dua sistem gender, yaitu laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan feminitasnya. 

Sementara di masyarakat suku Bugis mempercayai lima sistem gender dengan peran yang berbeda-beda, yaitu orowane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (perempuan dengan peran dan fungsi laki-laki), calabai (laki-laki dengan peran dan fungsi perempuan), dan bissu (perpaduan dua gender yaitu perempuan dan laki-laki dalam satu tubuh).

Hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih dalam dari sisi psikologi, bagaimana identitas dan peran gender yang masyarakat suku Bugis percayai tersebut yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat setempat.

Untuk dapat memahami gender terletak pada kata pembagian, yang dapat dibagi ke dalam dua sifat, yaitu pembagian sifat kodrati dan pembagian yang sifatnya berubah-ubah sehingga dapat dipertukarkan.

Baca Juga: Teori Gender dalam Psikologi Sosial

Budaya Siri’ dalam Suku Bugis

Narekko siri’na naranreng tenritenrengi nariewa (kalau harga diri yang disinggung, tanpa menggunakan tanggapun dilawan).

Makna siri’ di sini adalah hal yang sangat rawan karena menyangkut harga diri. Oleh sebab itu, kalau menyangkut siri’, tiada lagi jalan lain kecuali langsung mengadakan perlawanan, karena keberanian adalah suatu kebijaksanaan dalam menghadapi bahaya.

Bagi suku Bugis, harga diri yang tertinggi selain agama adalah anak gadis (ana‘ dara). Dalam perjalanan sejarahnya, tidak sedikit anak gadis yang diasingkan atau diusir dari kampung halamannya (riabbiang) karena kedapatan berzina atau selingkuh dengan laki-laki yang telah berkeluarga. Yang lebih mengerikan jika sampai dibunuh karena dianggap menodai kehormatan keluarga (mappakasiri’ siri’). 

Tidak hanya itu, ikatan kekeluargaan dengan sendirinya terputus. Meskipun tetap dipertahankan tinggal di kampung tersebut, sang gadis tidak akan mendapatkan jodoh kecuali dari luar daerah yang tidak tahu-menahu akan riwayat hidup sang gadis.

Hal tersebut terkait dengan keyakinan suku Bugis bahwa pelaku zina hanya akan melahirkan anak hasil hubungan zina. Untuk itu, menjaga anak perempuan adalah sebuah tantangan tersendiri dan menjadi kebanggaan keluarga apabila sang gadis mampu mempertahankan kehormatannya.

Begitu beratnya menjaga anak gadis sehingga muncul istilah “Lebbi moi mappie seratu tedong na mampi seddi ana’ dara” (lebih baik menjaga seratus ekor kerbau daripada menjaga seorang anak gadis perawan).

Mempertahankan kehormatan wanita tidak hanya berlaku bagi gadis perawan, tetapi juga wanita-wanita yang ditinggal suaminya pergi merantau (sompe’). Karena itu, tidak heran jika dalam suku Bugis kita mendapati seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun, namun ia mampu mempertahankan kesucian dan keutuhan rumah tangganya.

Selain adanya dukungan dari keluarga suami dan keluarga sendiri, juga telah tertanam dalam keyakinan suku Bugis bahwa mengganggu istri orang lain akan berakibat fatal. Laki-laki yang kedapatan selingkuh (maggau sala) dengan istri orang lain akan menerima hukuman berat dari keluarga wanita yang diselingkuhinya maupun dari keluarga suami wanita tersebut.

Perselingkuhan juga berdampak pada kehormatan seorang suami. Seorang suami yang istrinya selingkuh, maka oleh masyarakat dia dianggap sebagai orang yang tidak lagi memiliki kehormatan. Untuk itu, segala upaya dilakukan untuk mendapatkan kembali kehormatannya.

Adat suku Bugis juga melarang laki-laki mengganggu wanita yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya sampai masa iddah-nya berakhir. Gangguan kepada wanita tersebut juga berakibat fatal karena bisa jadi dia dituduh sebagai penyebab keretakan rumah tangga orang. Dengan demikian, kehormatan keluarga masuk dalam ranah siri’.

Baca Juga: Teori Gender dalam Psikologi Sosial

Uang Panai dalam Suku Bugis

Salah satu hal yang sering kali menjadi ujian adalah perihal aturan adat yang harus diikuti. Di masyarakat suku Bugis Makassar, aturan adat yang sampai saat ini sering menjadi ujian tersendiri bagi calon pengantin yang akan menikah adalah perihal uang panai.

Uang panai itu sendiri adalah sejumlah uang yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terkait berapa jumlah uang panai yang harus diberikan, tidak selalu sama antara satu dengan lainnya, semua bergantung pada kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak.

Dalam menentukan jumlah uang panai yang harus disiapkan juga tidak sembarangan, ada beberapa hal yang menjadi penentunya. Dua hal yang paling penting adalah status sosial dan tingkat pendidikan.

Uang panai untuk perempuan dari kaum bangsawan tentu berbeda dengan uang panai untuk perempuan dari masyarakat biasa.

Di kalangan masyarakat suku Bugis Makassar, uang panai memang masih menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dibicarakan. Sangat sering terjadi, jika mendengar seorang gadis akan menikah, yang lebih dulu ditanyakan adalah: “berapa uang panai-nya?”.

Kehadiran pertanyaan itu menjadi sebuah pertanda bagaimana uang panai punya peran penting dalam hal pernikahan masyarakat suku Bugis Makassar.

Hal lain tentang uang panai yang juga tidak kalah menariknya untuk disimak adalah, tidak jarang besaran jumlah uang panai menjadi semacam adu gengsi. Dalam beberapa kejadian, saking tidak ingin kalah saing, ada yang bahkan tidak peduli jika pihak laki-laki harus berutang agar bisa memenuhi uang panai yang sudah ditetapkan.

Hal seperti itulah yang kemudian menjadi salah satu penyebab mengapa uang panai menjadi sesuatu yang selalu menuai komentar pro dan kontra baik di kalangan masyarakat suku Bugis Makassar itu sendiri maupun di kalangan masyarakat luar.

Panai sebagai syarat adat untuk meminang calon pengantin perempuan memiliki nilai yang harus dibayarkan oleh pihak pengantin laki-laki. Panai ini memiliki klasifikasi nya tersendiri, tergantung dengan berbagai faktor dari pihak perempuan.

Faktor pendidikan misalnya, jika wanita yang akan dilamar memiliki pendidikan sebagai sarjana strata 1, harga panai akan lebih mahal dari wanita yang lulusan SMA. Sedangkan wanita lulusan S2 akan jauh lebih mahal dari wanita lulusan S1.

Misalkan harga panai untuk lulusan SMA adalah 50 juta, maka harga panai perempuan predikat S1 akan menjadi 75 hingga 100 juta, dan jika lulusan S2 bisa jadi mencapai 150 juta bahkan lebih.

Hal ini pun dipengaruhi dengan latar belakang keluarga yang akan menambah tinggi harga panai, jika calon mempelai perempuan memiliki darah bangsawan atau darah biru, meskipun lulusan SMA maka akan tetap menjadi mahal.

Panai dimaknai sebagai rasa penghargaan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada perempuan. Makna ini cukup jelas bahwa warga Bugis sangat menghargai keberadaan perempuan sebagai makhluk Tuhan yang sangat berharga, sehingga tak sembarang orang dapat meminang perempuan Bugis.

Makna lain yang terkandung adalah keseriusan dari sang calon mempelai lelaki. Panai mengindikasikan bahwa sang peminang benar-benar serius atau tidak sehingga menikah dengan perempuan Bugis bukanlah hal main-main.

Di sisi lain tingginya harga panai akan membuat pihak lelaki berpikir seribu kali untuk menceraikan istrinya karena ia sudah berkorban banyak untuk mempersunting sang istri.

“Tingginya penghargaan kepada perempuan oleh suku Bugis dari Makassar ini memberikan kita pelajaran bahwa perempuan dan pernikahan bukanlah hal yang layak untuk dijadikan mainan. Terkait banyaknya di jaman sekarang yang nikah-cerai ataupun nikah siri yang akhirnya pihak perempuan sering dirugikan.”

Baca Juga: Teori Gender dalam Psikologi Sosial

Peran Gender dalam Perspektif Suku Bugis

Pada masyarakat Bugis pembagian identitas gender sendiri terbagi menjadi lima, semua diakui dan mempunyai peran masing-masing. Bagi masyarakat Bugis yang tidak memahami makna gender, mereka hanya menempatkan diri sesuai dengan pengalaman hidup yang mereka alami.

Mereka menentukan diri sebagai perempuan (makkunrai), laki-laki (orowane), laki-laki feminin (calabai), perempuan maskulin (calalai), dan bissu (gabungan antara laki-laki dan perempuan) sesuai dengan kecenderungan yang dirasakan dari kecil dan pengaruh dari lingkungan sekitar.

Gender sendiri merupakan pelabelan atas laki-laki dan perempuan. Kontruksi ini tidak lagi membedakan laki-laki dan perempuan atas perbedaan seks yang dimiliki. Dasar sosialisasi ini secara kuat telah membentuk ideologi gender, melalui kontruksi sosial yang melembaga.

Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan (Fakih, 2013).

Kontruksi masyarakat pada umumnya hanya ada dua ekpresi gender, yaitu maskulin dan feminin, serta sudah menjadi tuntutan ‘ideal’ yang melekat pada masyarakat bahwa maskulin adalah identik dengan laki-laki, dan feminin identik dengan perempuan.

Akan dipandang salah atau tidak sesuai dengan tuntuna ‘ideal’ pada masyarakat ketika laki-laki memiliki karakteristik feminin apalagi dengan peran sosialnya pun sama seperti perempuan atau sebaliknya.

Tetapi berbeda jika hal ini terjadi pada masyarakat tradisional dengan tradisi dan kebudayaan yang menjadi latar belakangnya. Sama halnya dengan suku Bugis, meskipun calalai, calabai dan bissu memiliki populasi yang rendah, tidak menjadi suatu penghalang bagi mereka yang memutuskan untuk memilih menjadi calalai, calabai atau Bissu. 

Masyarakat Bugis pun akan menerima hal tersebut karena sudah menjadi suatu tradisi kebudayaan dari para leluhur.

Pemahaman gender dalam kata pembagian dapat dibedakan pada dua pertukarkan. Pembagian yang pertama merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, dinamakan sebagai pembagian seksual.

Sedangkan pembagian peran, sifat dan watak serta tanggung jawab yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan itulah yang dinamakan gender. Dari pembagian itulah kemudian muncul perbedaan gender.  

Calabai yang merupakan laki-laki secara biologis, tidak dapat menukarkan dirinya menjadi seorang perempuan seutuhnya, akan tetapi peran dan identitas gender dia perempuan dalam suku Bugis.

Begitupun dengan calalai yang merupakan perempuan secara biologis akan tetapi memilih melakukan peran gender laki-laki dalam masyarakat Bugis.

Psikologi Indigeneous Budaya Suku Bugis

Perilaku agresif merupakan perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Myers, 2012). Beberapa penelitian mengkaitan perilaku agresif dengan self esteem.

Bagaimana hubungan self esteem dengan perilaku agresif? Apakah individu dengan self esteem tinggi cenderung memiliki perilaku agresif rendah atau tinggi? Atau tidak ada kaitan langsung antara self esteem dengan perilaku agresif?

Self esteem berperan penting dalam proses pembentukan perilaku sosial (Baumeister, dkk, 1993). Rosenberg, dkk (1995) menjelaskan bahwa individu yang memiliki self esteem tinggi akan menghormati dirinya dan mengangap dirinya sebagai individu yang berguna.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa self esteem tinggi akan berdampak positif bagi individu seperti, kepercaan diri, komitment dan keyakinan menetapkan tujuan yang tinggi.

Individu yang memiliki self esteem tinggi memiliki kemampuan yang baik dalam hal regulasi diri, kemampuan berdaptasi yang baik (Baumeister, dkk, 1993).

Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa self esteem tinggi memiliki sisi gelap pada diri individu jika dihadapkan pada kondisi yang berisiko.

Individu yang yang memiliki self esteem tinggi akan memiliki kepercayaan diri tinggi, yang terkadang cenderung berlebihan (over) sehingga memiliki keyakinan tinggi mencapai kesuksesan. Individu seperti ini akan cenderung mengabaikan faktor risiko yang memungkinkan terjadinya kegagalan (Baumeister, dkk, 1993).

Demikian juga yang yang terjadi pada suku Bugis, hubungan self esteem dengan perilaku agresif bersifat tidak langsung, artinya ada variabel lain dalam hal ini siri’ sebagai perantara memunculkan perilaku agresif.

Individu yang memiliki self esteem tinggi akan cenderung menilai dirinya positif dan memiliki siri’ yang tinggi. Individu yang memiliki siri’ tinggi adalah orang yang memiliki prinsip kuat, berusaha menjaga nilai dan kehormatan dirinya. Individu yang berpegang pada nilai siri’ akan berusaha menjaga self esteem dan rasa malu (Said, 2006; Mustafa dkk., 2003).

Indvidu yang memiliki siri’ tinggi akan lebih rentan untuk berperilaku agresif. Ketika individu dihadapkan pada situasi sosial yang mengancam diri, individu yang memiliki siri’ tinggi cenderung lebih mudah memunculkan perilaku agresif dibandingkan yang memiliki siri’ rendah.

Kesimpulan

Sekiranya nilai-nilai budaya siri’ dapat dipahami secara arif dan bijaksana oleh generasi muda sehingga nilai tersebut tidak terkikis. Nilai-nilai budaya yang positif yang terkandung dalam proses pernikahan adat Bugis Soppeng Sulawesi Selatan seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi tanpa menutup diri dari kritikan yang sifatnya membangun.

Serta unsur-unsur dalam pernikahan Bugis, misalnya yang lagi marak diperbincangkan yakni Dui Pappenre’/ Uang Panaik (Hantaran belanja). Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji.

Pada masyarakat Bugis pembagian identitas gender sendiri terbagi menjadi lima, semua diakui dan mempunyai peran masing-masing. Bagi masyarakat Bugis yang tidak memahami dengan makna gender, mereka hanya menempatkan diri sesuai dengan pengalaman hidup yang mereka alami.

Mereka menetukan diri sebagai perempuan (makkunrai), laki-laki (orowane), laki-laki feminin (calabai), perempuan maskulin (calalai), dan bissu (gabungan antara laki-laki dan perempuan) sesuai dengan kecenderungan yang dirasakan dari kecil dan pengaruh dari lingkungan sekitar.

 

Penulis: Nu’umatul Fikkri (1707016054), Fadhilatussyifa Auliyarahmani Bahtiar (1707016063), Septiyana Ayu Pratiwi (1707016066).

 

Referensi:

Anisa, Y. (2018). NILAI BUDAYA SIRI’DAN STRUKTURAL DALAM PERNIKAHAN ADAT SUKU BUGIS SOPPENG SULAWESI SELATAN. In Seminar Internasional Riksa Bahasa (pp. 845-846).

Nurhim, Sri. (2018). IDENTITAS DAN PERAN GENDER PADA MASYARAKAT SUKU BUGIS. SOSIETAS, VOL. 8, NO. 1.

Cahaya Makbul, Harmaini Harmaini, Ivan Muhammad Agung. (2016). SELF ESTEEM, SIRI’, DAN PERILAKU AGRESIF PADA SUKU BUGIS: SISI GELAP SELF ESTEEM TINGGI. Jurnal Psikologi, Volume 12 Nomor 1.

Akses internet: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/06/02/tradisi-uang-panai-suku-bugis-yang-jumlahnya-fantastis

Akses internet: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis#Awal_mula

Posting Komentar untuk "Budaya Siri, Uang Panai, dan Peran Gender dalam Perspektif Suku Bugis"