Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Asesmen Multimetode dalam Psikologi

Initentangpsikologi.com - Asesmen psikologis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari konseling. Asesmen menyediakan informasi yang dapat digunakan dalam setiap langkah model pemecahan. Asesmen menyajikan fungsi-fungsi berikut:

1. Membantu konselor dan klien untuk mempertimbangkan berbagai masalah;

2. Menjelaskan keadaan masalah;

3. Dapat menyarankan alternatif solusi untuk pemecahan masalah; 

4. Menyediakan sebuah metode yang membandingkan berbagai alternatif sehingga keputusan dapat dibuat atau dilaksanakan, dan;

5. Membantu konselor dan klien untuk mengevaluasi efektivitas solusi tertentu.

Asesmen Multimetode dalam Psikologi
Ilustrasi (pexels.com/Karolina Grabowska)

Asesmen psikologis mengacu pada semua metode yang digunakan untuk mengukur karakteristik dari orang atau program. Berkaitan dengan penilaian lingkungan serta individu. Ini adalah definisi yang luas yang mencakup langkah-langkah yang non-standar, idiographic, dan kualitatif. Serta langkah-langkah yang standar, nomothetic, dan kuantitatif.

Pomerantz (2014) menyebutkan bahwa tidak ada ukuran kepribadian atau perilaku yang sempurna. Sebagian memang memiliki reliabilitas dari validitas, serta kegunaan yang sempurna, tetapi bahkan mereka pun masih memiliki keterbatasan.

Untuk alasan tersebut, penting untuk tidak mengukur kepribadian secara ekslusif pada sebuah metode penilaian tunggal tertentu. Sebaliknya, kepribadian sebaiknya dinilai dengan menggunakan metode majemuk, termasuk berbagai jenis tes, data, wawancara, observasi, atau sumber-sumber lain.

Masing-masing metode menawarkan sebuah perspektif unik tentang klien, dan mereka sering memusat pada kesimpulan serupa. Sejauh kesimpulan itu didukung oleh banyak tes dan bukan hanya satu, seorang psikolog klinis dapat menyatakan kesimpulan tersebut dengan penuh keyakinan.

Baca Juga: Standart dalam Assesment

Keunggulan Asesmen Multimetode

Keunggulan asesmen multimetode adalah dapat berlaku bahkan di dalam lingkungan yang kurang formal dan profesional. Misalkan sekedar menyimak sebuah situasi saat sedang dalam proses mengenal seseorang. Contohnya di dalam sebuah kencan, “penilaian” awal anda tentang kepribadian pasangan mungkin terjadi ketika sedang kencan pertama di sebuah restoran atau bioskop.

Ketika hubungan berlanjut, anda akan berkesempatan untuk “menilai” kepribadian pasangan dengan menggunakan “metode” lain. Mungkin anda akan melihat kepribadian dan perilakunya dengan keluarga, dengan teman-teman, saat di rumah, saat di tempat kerja, saat di sekolah, dan sebagainya.

Anda mungkin mendapatkan kesan pertama yang kuat pada kencan pertama. Tetapi anda mungkin tidak akan merasa bahwa anda sudah benar-benar mengenal dan memahami kepribadian pasangan anda sampai anda bisa menilainya dalam berbagai macam konteks. Karena setiap situasi memang cenderung akan mengungkapkan aspek kepribadian yang berbeda.

Dalam pengertian yang lebih profesional, hal yang sama berlaku bagi seorang psikolog klinis yang berusaha mengenal seorang klien melalui tes kepribadian. Masing-masing metode memang menawarkan sebuah perspektif berbeda, dan meskipun sebagian alat ada yang cukup sangat informatif, tetapi integritas penggunaan banyak metode adalah yang terbukti paling informatif.

Kelengkapan informasi dalam megetahui seorang klien sangat penting, mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman dan budaya yang sekiranya memberikan sumbangsih informasi untuk memudahkan dalam memberikan perlakuan kepada klien. Mengenal budaya seorang klien sangat penting, karena seseorang dibesarkan oleh budaya dan bisa dipastikan mereka memiliki perilaku sesuai dengan budaya yang ada, meskipun itu tidak mutlak.

Baca Juga:  Konseling di Lingkup Rumah Sakit

Peran Budaya dalam Asesmen

Pomerantz (2014) mengatakan bahwa kompetensi kultural esensial di semua kegiatan psikologi klinis, khususnya asemen kepribadian. Setiap budaya memiliki persepsinya sendiri tentang “normal” dan juga variasi-variasinya sendiri tentang “abnormal”.

Sebuah asesmen kepribadian yang dilaksanakan tanpa pengetahuan atau sensitivitas tentang  hal-hal yang spesifik secara kultural akan membahayakan: faktanya, ini disebut “malpraktik budaya” oleh sebagian pihak (misalnya, dana, 2005).

Bahaya utamanya, menganggap abnormal hal yang normal secara kultural. Dengan kata lain, psikolog klinis harus mengapresiasi makna sebuah perilaku, pikiran atau perasaan di dalam konteks budaya klien, yang mungkin berbeda dengan konteks budaya psikolog itu sendiri.

Pomerantz (2014) menyatakan bahwa kebanyakan psikolog klinis akan menganggap semua ukuran objektif dan proyektif yang didekripsikan sejauh ini adalah teknik asesmen kepribadian tradisional. Teknik tradisional ini memiliki beberapa asumsi implisit dasar yang sama, yakni:

1. Kepribadian adalah sebuah konsep internal yang stabil. Dengan kata lain, perilaku terutama ditentukan oleh karakteristik atau disposisi “di dalam diri” orang itu.

2. Menilai kepribadian membutuhkan derajat simpulan yang tinggi. Artinya psikolog klinis harus menggunakan data yang disediakan oleh tes-tes kepribadian untuk memberi kesimpulan atau memberikan spekulasi tentang perilaku-perilaku bermasalah yang secara aktual dialami klien.

3. Perilaku klien adalah isyarat bagi isu mendasar yang tersimpan dalam-dalam yang kadang-kadang mengambil bentuk diagnosis DSM.

Asesmen Perilaku (penilaian perilaku)

Asesmen perilaku (penilaian perilaku) menentang semua asumsi di atas dan menawarkan pendekatan asesmen yang berbeda secara fundamental (Heiby & Haynes, 2004; Ollendick, Alvarez & Green, 2004). Karena menurut asesmen perilaku, perilaku itulah masalahnya.

Cara lain untuk mengatakan ini adalah bahwa perilaku yang diperlihatkan oleh seorang klien adalah sampel dari masalah itu sendiri, bukan isyarat perilaku yang lebih dalam, yang mendasarinya.

Sebagai contoh, bila X, seorang anak 9 tahun, sering bertengkar dengan guru di sekolah, maka “bertengkar dengan guru” adalah masalahnya. Tidak perlu dan tidak bijaksana menurut para penilai perilaku untuk memahami pertengkaran X sebagai “gejala” dari sebuah isu yang lebih mendalam, misalnya gangguan pembangkangan oposional.

Jadi, untuk menilai masalahnya, teknik-teknik penilaian seharusnya melibatkan sedikit mungkin referensi. Alih-alih memakai bercaktinta atau kuesioner yang mungkin akan menjangkau masalahnya secara tidak langsung, penilai perilaku akan memilih cara paling langsung untuk mengukur perilaku bermasalah dari X; yakni observais X di kelasnya.

Dengan menolak ide bahwa X “mempunyai” gangguan internal atau ciri sifat tertentu yang mendasari pertengkarannya, penilai perilaku mendemonstrasikan penolakan mereka terhadap ide yang sering lebih fundamental bahwa karakteristik “kepribadian” internal yang menetap menyebabkan semua perilaku.

Baca Juga: Perilaku Sosial dalam Komunikasi dan Kehidupan

Namun demikian, penilai perilaku berpendapat bahwa faktor-faktor situasional eksternal menentukan perilaku kita. Dengan demikian penilaian perilaku adalah sebuah pendekatan yang secara unik bersifat empiris yang memanfaatkan “penggunaan ukuran-ukuran yang valid, persis dan sensitif tentang perilaku dan peristiwa kontemporer yang didefinisikan dengan baik untuk menangkap interaksi perilaku-lingkungan” (Haynes & Kaho-lokula, 2008).

Pomerantz (2014) mengatakan, teknik paling esensial di dalam asesmen perilaku adalah observasi perilaku atau observasi sistematis langsung terhadap perilaku seorang klien di lingkungan alamiah (Olendick dkk.,  2004). Juga dikenal sebagai observasi natural. Praktik ini melibatkan pengambilan sampel langsung di tempat masalah itu terjadi (di rumah, di tempat kerja, sekolah, tempat umum, dan lainnya).

Langkah pertama di dalam observasi perilaku melibatkan identifikasi dan pendefinisian perilaku yang bermasalah secara operasional. Ini terjadi melalui wawancara, daftar perilaku, konsultasi dengan mereka yang telah mengamati klien (anggota keluarga, teman, rekan kerja, guru, dan lainnya), atau pemantauan diri sendiri oleh klien. Begitu perilaku target diidentifikasi dan didefinisikan, observasi sistematis akan terjadi.

Proses ini biasanya melibatkan tallying and charting (menghitung jumlah) frekuensi, durasi, atau intensitas perilaku target selama periode-periode waktu yang ditetapkan pertama sebagai garis dasar. Dan setelah itu dengan interval-interval reguler untuk mengukur kemajuan dibandingkan garis dasar tersebut.

Observasi langsung semacam itu dapat menyediakan penilaian perilaku bermasalah yang jauh lebih akurat dibandingkan sekadar meminta klien untuk mengingat atau merangkumnya secara verbal selama wawancara atau pada sebuah kuesoiner.

Jika observasi di lingkungan alamiah tidak mungkin dilakukan, penilaian perilaku dapat mengatur sebuah observasi analog, dan mereka berusaha mereprikasi lingkungan dunia nyata di klinik dan mnegobservasi respon-respon klien di sana (Haynes & Kaholokula, 2008).

Observasi perilaku biasanya juga termasuk mencatat kejadian-kejadian yang terjadi tepat sebelum dan setelah perilaku target. Tergantung kliennya, perilaku target dan lingkungannya, pencatatan dapat dilakukan oleh individu-individu dengan jumlah berapa pun, termasuk guru, orang tua, teman atau anggota keluarga, atau klien.

Mendokumentasikan kejadian-kejadian tersebut akan memungkinkan psikolog klinis untuk memahami fungsional sebuah perilaku tertentu atau bagaimana hubungan perilaku tersebut dengan lingkungan dan kemungkinan di sekitarnya (Hiby & Haynes, 2004).

 

Penulis: Fitri Afifah (1707016004)

Posting Komentar untuk "Mengenal Asesmen Multimetode dalam Psikologi"