Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resiliensi Kolektif dan Membangun Resiliensi Individu

Resiliensi dalam Komunitas

Masyarakat mempunyai sistem jaminan sosial yang telah berkembang cukup lama di dalam komunitasnya yang disebut jaminan sosial berbasis masyarakat. Di dalamnya terdapat makna eksklusivitas, namun sangat bermanfaat untuk membantu masyarakat ketika dihadapkan pada kondisi kerentanan.

Keberadaan sistem jaminan sosial lain, di luar apa yang telah diselenggarakan pemerintah, pada dasarnya lebih karena fakta bahwa setiap orang mempunyai perbedaan kepentingan dan kebutuhan.

Jaminan sosial dari pemerintah adalah salah satu wujud dari kebijakan sosial pemerintah, sementara kelompok masyarakat di luar pemerintah pun turut mengembangkan sistem jaminan sosial berdasarkan tujuannya masing-masing (Ditch, 1999).

Tujuan dari jaminan sosial pada dasarnya untuk memastikan kehidupan mereka dalam kondisi tidak tertekan oleh keadaan yang memiliki banyak tuntutan kebutuhan.

Baca Juga: Perilaku Sosial dalam Komunikasi dan Kehidupan

Resiliensi dalam Komunitas
Ilustrasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Komunitas merupakan tempat individu berkelompok guna memenuhi keinginan untuk berinteraksi satu sama lain, di mana mereka memiliki visi yang sama. Dalam KBBI dijelaskan bahwa komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi dari suatu daerah tertentu seperti masyarakat paguyuban.

Sementara kelompok dijelaskan sebagai kumpulan, golongan, gugusan (tentang orang, binatang dan sebagainya) yang merupakan kesatuan beridentitas dengan adat istiadat dan sistem norma yang mengatur pola-pola interaksi antara manusia itu. Pola interaksi ini akan ada namanya konformitas untuk berusaha menyesuaikan diri antara kepentingan diri dan kehendak lingkungan.

Kenapa seseorang perlu menyesuaikan diri? Karena seseorang memerlukan orang lain untuk dapat memenuhi harapan mereka dalam hidup. Nah, orang yang dapat menyesuaikan diri dari tekanan sosial disebut dengan resiliensi.

Resiliensi itu penting untuk mengarahkan kehidupan kita dalam suatu keberhasilan. Resiliensi adalah keberhasilan menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi. Penyesuaian diri menggambarkan kapasitas untuk membangun hasil positif dalam peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.

Penyesuaian diri adalah membangun daya tahan dan mempertahankan batas antara tingkat emosi positif dan negatif yang menggambarkan kekuatan yang mendasari individu dalam kemudahan menyesuaikan diri. Keberhasilan menyesuaikan diri digambarkan seperti kapasitas untuk pulih dengan cepat dari stressor lingkungan (Ong, dkk, 2006).

Proses penyesuaian diri  akan sangat tergantung kepada ketanggapan setiap individu dalam merespons lingkungan yang ada. Setiap individu memiliki kapasitas yang berbeda dalam penyesuaian, karena pengetahuan dan pengalaman akan memberikan dampak dalam proses membaca setiap tekanan yang ada.

Einsenberg, dkk (2003) menyatakan bahwa individu dengan tingkat resiliensi yang tinggi (laki-laki) mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk mengubah keadaan dan fleksibel dalam pemecahan masalah, sedangkan individu dengan tingkat resiliensi yang rendah (perempuan) memiliki fleksibilitas adaptif yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan, cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan atau tekanan, serta mengalami kesukaran untuk menyelesaikan kembali setelah mengalami pengalaman traumatik.

Perbedaan penyesuaian diri laki-laki dan wanita dipengaruhi oleh keadaan biologis. Hal ini dilihat dari perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Keadaan biologis berpengaruh terhadap perbedaan perilaku antar jenis kelamin. Menurut teori seleksi alam, pembagian peran ini cenderung mendorong perbedaan perilaku yang didasarkan pada keadaan biologis.

Setiap sifat yang dibawa sejak lahir menentukan laki-laki menjadi agresif dan bebas, dan wanita berperilaku sebagai pengasuh dan tinggal di rumah. Sementara sifat sebaliknya yakni kepasifan laki-laki atau keagresifan wanita, ditekan dalam-dalam (Calhoun dan Acocella, 1990).

Laki-laki dan perempuan memiliki pandangan yang berbeda dalam merasakan risiko. Wanita bersikap lebih mengedepankan aspek afektif dalam mengambil risiko, sedangkan laki-laki lebih mengedepankan pertimbangan kognitif dalam memandang risiko dan bahaya sebagai bagian dari hidup.

Hasil penelitian yang dilakukan Barends (2004), mengindikasikan bahwa laki-laki memiliki keyakinan dalam memecahkan masalah dan percaya pada kemampuannya (kompentensi) untuk menguasai tugas atau situasi yang sulit, lebih positif dibandingkan dengan wanita.

Keadaan sosial masyarakat mempengaruhi penyesuaian antara laki-laki dan perempuan. Setiap kelompok masyarakat mempunyai pandangan dan konsep perilaku sendiri-sendiri tentang perilaku laki-laki dan perempuan dan menanamkan patokan tersebut (Colhoun dan Acocella, 1990).

Budaya matrilineal pada masyarakat kota Padang tidak mempengaruhi resiliensi terhadap jenis kelamin. Resiliensi masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah intrapersonal atau kepribadian. Intrapersonal meliputi faktor kognitif dan kompetensi khusus.

Faktor kognitif meliputi optimisme, intelegensi, kreativitas, humor dan sistem kepercayaan yang memberikan arti kebermaknaan hidup, sebagai kumpulan cerita kehidupan dan menghargai keunikan diri masing-masing (Tusaie dan Dyer, 2004), kemampuan sosial atau respon positif dan internal locus of control.

Empati, humor, fleksibilitas, dan kepribadian lembut, yang keseluruhannya dapat meningkatkan kemampuan sosial (Everal dkk, 2006). Kompetensi khusus yang berkontribusi terhadap resiliensi meliputi strategi koping, kemampuan sosial, bakat dan memiliki kemampuan memori di atas rata-rata (Tasaie dan Dyer, 2004).

Faktor eksternal adalah dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan faktor penting dalam resiliensi. Dukungan sosial meliputi banyaknya sumber dukungan sosial sebagai proses yang mempengaruhi individu. Dukungan sosial merupakan bentuk hubungan yang diterima individu dari lingkungan antara lain keluarga dan masyarakat (Everal dkk, 2006).

Baca Juga:  Konseling di Lingkup Rumah Sakit

Resiliensi Kolektif Masyarakat Tradisional

Masyarakat tradisional adalah suatu masyarakat yang masih memegang sikap, nilai dan norma yang melekat pada budaya  lokal mereka. Unsur yang paling menonjol dari masyarakat tradisional adalah tindakan dan perilaku setiap individu yang disandarkan kepada warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang cenderung berlaku stagnan.

Tingkah laku, norma, dan nilai-nilai, harapan dan cita-cita yang mengarah kepada hal-hal yang sederhana. Kesederhanaan mereka menjadi kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi kehidupan yang sangat kompleks. Ketahanan inilah yang disebut resiliensi kolektif oleh masyarakat.

Resiliensi kolektif merupakan gagasan tentang bagaimana ketahanan masyarakat dalam menghadapi tekanan dan tantangan hidup melalui pengembalian fungsi relasi sosialnya. Resiliensi sendiri banyak digunakan dalam istilah ekologi dan psikologi untuk menggambarkan carring capacity dan kemampuan untuk  mengatasi diri dari tekanan dan stres.

Seperti halnya individu, masyarakat juga memiliki kekuatan dan kelemahan dalam mengatasi permasalahan hidup dan mengusahakan keberlanjutan hidupnya. Pengaruh faktor ekonomi sangat berperan dalam menentukan daya kebertahanan atau resiliensi suatu kelompok masyarakat. Dukungan berupa sumber daya sosial, budaya, dan lingkungan dapat dikembangkan dalam bentuk jejaring sosial yang diperkuat sebagai sistem penyanggah kehidupan komunitas.

Suatu komunitas merupakan suatu kelompok sosial yang dapat dinyatakan sebagai masyarakat setempat, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula, di mana kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya.

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, prefensi, kebutuhan, risiko, dan sejumlah kondisi lain yang serupa.

Kotler (1978) mengemukakan bahwa upaya perubahan sosial yang terarah dalam pemberdayaan komunitas tidak lepas kaitannya dengan masalah sosial dan aksi sosial. Tiga hal tersebut merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan. Adanya masalah sosial dapat menimbulkan perubahan sosial dan untuk mengarahkannya diperlukan aksi sosial.

Aksi sosial dilakukan dengan cara melakukan suatu tindakan dari individu-individu yang kemudian mengakibatkan suatu perubahan sosial. Perubahan itu akan memberikan efek terhadap kemajuan suatu komunitas tertentu.

Baca Juga:  Bentuk Intervensi dalam Psikologi

Membangun Resiliensi Individu

Membangun resiliensi dengan upaya membimbing manusia pada kehidupan yang lebih sehat. Sebagai upaya dinamis di tengah masyarakat, membangun resiliensi menyediakan ruang interaksi antara aspek psikologis manusia dengan lingkungannya (Benard, 2002). Interaksi semacam ini akan mengembalikan dan memperkuat identitas budaya (khususnya bagi masyarakat tradisional).

Ketertarikan antara resiliensi masyarakat dan lingkungan alam, bersifat resiprokal untuk kelompok masyarakat tradisional yang masih memiliki kebiasaan mengambil dan meramu dari alam (Agner, 2000).

Memperkuat resiliensi masyarakat tradisional selalu berfokus pada kehidupan anak-anak, keluarga mereka dan tradisi mereka dalam menjalani hidup sehari-hari yang masih terikat dengan sistem natural lingkungan alam tempat mereka hidup (Masten, 2002).

Penguatan identitas etnik pada pribadi-pribadi yang berasal dari kelompok masyarakat tradisional yang terpinggirkan menjadi penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan mengembangkan kesadaran (Banks, 2010).

Proses mengembangkan kesadaran tidak mudah, yang kemudian bisa tercipta kesadaran harus memiliki pengorbanan dengan melakukan proses pendidikan formal dan pendidikan budaya. Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan multikultural dalam rangka menguatkan identitas etnik menurut National Council for the Social Studies (NCSS) dalam Banks (2002) adalah sebagai berikut:

1. Keragaman etnik dan budaya harus diperkenalkan dan dihargai oleh setiap individu, kelompok (termasuk unsur keluarga) dan masyarakat.

2. Keragaman etnik dan budaya harus ditujukan untuk menguatkan, melekatkan dan meningkatkan daya tahan atau resiliensi masyarakat.

3. Kesetaraan dalam mendapatkan kesempatan (utamanya akses pendidikan dan ekonomi) harus diberikan untuk seluruh golongan dan kelompok etnis.

4. Pengenalan identik etnik dan budaya harus ditunjukkan sebagai pilihan merdeka setiap individu dalam suasana yang demokratis.

 

Penulis: Anis Nur Inayah (1707016022)

Posting Komentar untuk "Resiliensi Kolektif dan Membangun Resiliensi Individu"