Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Klasik Mengenai Kegiatan Bermain

Initentangpsikologi.com - Pada awalnya kegiatan bermain belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa. Alasannya karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada perkembangan anak. 

Teori Klasik Mengenai Kegiatan Bermain
Ilustrasi (pexels.com)

Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mempelajari aritmatika (hitung-menghitung) dengan cara membagikan apel kepada anak-anak.

Kemudian bisa juga melalui alat permainan miniatur balok-balok kepada anak usia tiga tahun. Hal tersebut pada akhirnya dapat membuat anak tersebut memiliki minat sebagai seorang ahli bangunan.

Filsuf lainnya, Aristoteles berpendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk bermain dengan apa yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. 

Pentingnya Bermain dalam Belajar

Dari tokoh-tokoh yang mengadakan reformasi di bidang pendidikan seperti Comenius (abad 17), Rousseau, Pestalozzi dan Frõbel (abad 18 serta awal abad 19) akhirnya lambat laun para pendidik dapat menerima pendapat bahwa pendidikan untuk anak perlu disesuaikan dengan minat serta tahap perkembangan anak.

Frõbel lebih menekankan pentingnya bermain dalam belajar karena berdasarkan pengalamannya sebagai guru. Dia menyadari bahwa kegiatan bermain maupun mainan yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta mengembangkan pengetahuan mereka.

Jadi, Plato, Aristoteles, dan Frõbel menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak.  

Sayangnya, pada saat itu teori perkembangan psikologi anak belum mempunyai sistematika yang teratur. Akibatnya, apa yang dikemukakan oleh Frõbel bahwa bermain dapat meningkatkan minat, kapasitas serta pengetahuan anak sulit dibuktikan.

Baca Juga: Manfaat Bermain Bagi Perkembangan Anak

Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga pembahasan teori bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan tenaga seseorang setelah bekerja dan merasa jenuh. 

Pendapat ini dipertanyakan karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain. Jadi, penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada makhluk hidup belum dapat dijawab secara memuaskan. 

Teori Klasik Mengenai Kegiatan Bermain

Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam teori klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari bermain. Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena teori itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset eksperimental.

Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi dan praktis.

Teori Surplus Energi

Friedrich Schiller seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris (abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain. Herbert Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda.

Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat evolusi lebih rendah, misalnya serangga atau katak maka energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Keterampilan kelompok binatang dengan tingkat evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga untuk mempertahankan hidup. 

Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja air atau gas yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya tampungnya.

Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi, namun teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan cepat-cepat menyelesaikan tugas jika dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya selesai. Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain merupakan suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.

Baca Juga: Tahap Perkembangan Bermain ditinjau dari Aspek Kognitif Menurut Piaget

Teori Rekreasi

Berlawanan dengan teori surplus energi, maka teori rekreasi mengajukan dalil bahwa tujuan bermain adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bekerja. Menurut penggagasnya, seorang penyair Jerman bernama Moritz Lazarus, kegiatan bekerja menyebabkan berkurangnya tenaga. Tenaga ini akan dapat dipulihkan kembali dengan cara tidur atau melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan bekerja.

Bermain adalah lawan dari bekerja dan merupakan cara yang ideal untuk memulihkan tenaga. Tentu saja teori yang dikemukakan oleh Lazarus terkesan kurang ilmiah walaupun teori ini bisa menjelaskan aktifitas rekreatif yang dilakukan orang dewasa, seperti bermain catur sebagai selingan setelah bekerja keras.

Teori Rekapitulasi

Pada abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif sementara pendapat Charles Darwin di dalam bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa.

Jika sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas perkembangan anak-anak mereka.

G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori evolusi dan bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. Stanley Hall meninjau bermain dari teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak merupakan mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia”.

Artinya anak menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak lahir, melampaui beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari spesies ikan sampai menjadi spesies manusia. Dengan demikian, perkembangan sesorang akan mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman ’nenek moyangnya’ akan tertampil di dalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al, 1999).

Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek moyangnya’, spesies ikan yang mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak terlibat dalam kegiatan bermain kelompok.

Anak usia 8 - 12 tahun, anak senang berkemah, berperahu, memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap usia.

Baca Juga: Perkembangan Bermain ditinjau dari Aspek Sosial Menurut Mildred Parten

Teori Praktis

Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa bermain berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang. Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. 

Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan hidup.

Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instink-nya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.

Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan hidup dapat kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan menangkap mangsanya.

Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.

Bagaimana halnya dengan instink atau naluri yang sudah dimiliki binatang untuk mempertahankan hidupnya. Groos mengatakan bahwa pada binatang yang sudah dilengkap oleh instink, tidak perlu bermain karena mereka sudah dapat mempertahankan diri secara instinktif. Beda halnya dengan binatang yang mempunyai tingkatan evolusi lebih tinggi dan manusia yang memerlukan perlindungan serta perawatan lebih lama agar dapat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini perlu diberi latihan-latihan melalui bermain dan meniru (imitasi).

Pertanyaan lain adalah ”mengapa manusia tetap bermain sampai usia dewasa bahkan sampai tua?”. Karl Groos memberi sanggahan dengan mengatakan bahwa bermain adalah sesuatu yang menyenangkan di masa muda, oleh karena itu tetap dilakukan di masa dewasa.

Teori yang dikemukakan Groos mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi sumbangan karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu pendapat bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa diterima.

 

Penulis: Helmalia Nur Rafika (1707016014)

Posting Komentar untuk "Teori Klasik Mengenai Kegiatan Bermain"