Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cemas Berlebihan Saat Pandemi? Ini Akibatnya

Initentangpsikologi.comSeperti yang telah kita ketahui, COVID-19 ini awalnya ditemukan berasal dari kota Wuhan, Republik Rakyat China, akhir Desember 2019 lalu. Virus ini dengan cepat menular dan menyebar ke berbagai wilayah lain di China bahkan ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. COVID-19 ini merupakan virus yang menginfeksi pada sistem pernapasan.

Cemas Berlebihan Saat Pandemi
Ilustrasi Orang Sedang Cemas (pexels.com)

Pada banyak kasus yang terjadi, virus Corona ini biasanya hanya akan menimbulkan infeksi pernapasan yang masih ringan, seperti flu. Namun, virus Corona ini juga mampu menyebabkan infeksi pernapasan yang berat, seperti infeksi pada paru-paru, Middle-East Respiratory Syndrome (MERS), dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), hingga kematian. 

Gejala Infeksi Virus Corona

Gejala awal infeksi virus Corona yang muncul ini bisa berupa gejala flu biasa, seperti sakit tenggorokan, pilek, demam, sakit kepala, dan batuk kering. Kemudian setelah itu, gejala bisa semakin memburuk. Pasien mulai mengalami demam tinggi, sesak napas, nyeri dada, dan batuk berdahak bahkan bisa sampai batuk berdarah. Gejala-gejala yang muncul tersebut bisa terjadi ketika tubuh kita bereaksi dalam melawan virus Corona. 

Akan tetapi, ada tiga gejala umum yang dapat mengindikasikan seseorang telah terinfeksi oleh virus Corona, yaitu: batuk, demam dengan suhu panas tubuh bisa mencapai angka di atas 38 derajat Celsius, dan sesak napas. Menurut penelitian yang telah dilakukan, gejala COVID-19 ini akan muncul dalam rentang waktu 2 hari hingga 2 minggu sesudah terpapar virus ini. 

Baca Juga: Siklus Cemas - Rasa Cemas Jangan diabaikan

Jangan Cemas Berlebihan Mengenai Informasi Seputar Corona

Sering mengikuti perkembangan informasi mengenai virus Corona memang penting dan sangat dibutuhkan sebagai salah satu bentuk upaya kewaspadaan diri. Namun, jika terus terpapar berbagai informasi mengenai virus Corona ini, baik berita yang terpercaya maupun belum mengenai keakuratannya, ternyata juga mampu membuat seseorang menjadi lebih rentan untuk cemas, panik, dan stres

Perasaan cemas berlebihan ini terjadi akibat sering menerima informasi yang cukup menggelisahkan dan pada akhirnya akan menyebabkan tubuh kita menciptakan gejala-gejala yang mirip dengan gejala infeksi virus Corona. 

Akibatnya, kita akan dengan mudah berpikir bahwa kita telah terinfeksi virus Corona. Padahal, sebenarnya gejala tersebut merupakan bentuk atau manifestasi dari perasaan cemas yang berlebihan, bukan sebagai akibat dari terinfeksi virus yang ada. Kondisi yang seperti itu biasa disebut dengan istilah psikosomatis. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aisyah Marwa Bilqis, Yaslinda Yaunin, dan Eryati Darwin dengan responden mahasiswa kedokteran Universitas Andalas angkatan 2015-2016. Tujuannya untuk melihat hubungan tingkat kecemasan terhadap infeksi saluran pernafasan, hasilnya menyatakan bahwa memang terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan mahasiswa dengan infeksi saluran pernafasan akut. 

Hal tersebut dikarenakan adanya faktor cemas yang menimbulkan stres. Stres itu sendiri disebut sebagai suatu kondisi yang muncul saat seseorang berhubungan atau mengalami situasi tertentu, dimana adanya suatu ‘permintaan’ yang melebihi batas dari kemampuan coping stress seseorang. 

Pada seseorang yang sedang mengalami stres, cenderung mempunyai potensi patologis yang akan mengganggu reaksi imun pada tubuh. Penekanan fungsi sistem imun yang ada akan mengakibatkan seseorang rentan terkena infeksi virus. Namun tentu saja jika memang tidak terpapar virus Corona, kemungkinan besar juga tidak akan tertular. Tapi tetap saja dengan daya tahan tubuh yang lemah dapat membuat gejala yang mirip infeksi virus Corona meskipun sebenarnya bukan. 

Baca Juga: Teori Stres Menurut Para Ahli

Memahami Definisi dari Psikosomatis

Psikosomatis yaitu gangguan pada fisik seseorang dikarenakan oleh adanya tekanan-tekanan secara psikologis, atau berupa gangguan fisik yang terjadi pada tubuh sebagai akibat dari aktivitas psikologis yang berlebihan dalam merespon gejala emosi yang ada. 

Ciri-ciri psikosomatis ini ditandai dengan adanya keluhan pada fisik yang bermacam-macam seperti; nyeri di bagian tubuh tertentu, kembung, mual, pegal-pegal, muntah, mati rasa, sering bersendawa, kulit gatal, kesemutan, nyeri dada, nyeri punggung dan sakit kepala. Keluhan ini biasanya akan sering terjadi dan berulang serta berpindah-pindah tempat, terasa menganggu dan terkesan tidak wajar. 

Secara biologis, gejala psikosomatik ini dapat terjadi karena sistem saraf otonom mengalami ketidakstabilan, dimana antara sistem saraf parasimpatis dengan saraf simpatis juga menjadi tak seimbang. 

Hal tersebut terjadi karena adanya faktor stres yang tidak mampu teradaptasi dengan baik. Kemudian, tubuh akan mengalami tekanan secara terus-menerus dan hormon adrenalin pun akan mengalir ke seluruh tubuh, sehingga menimbulkan gejala-gejala psikosomatis.

Pada umumnya, gejala psikosomatis ini mirip dengan gangguan kecemasan atau Anxiety Disorder, seperti merasa badan terlalu panas atau demam, sesak napas, dan nyeri dada. Namun, gejala psikosomatis yang muncul tersebut bisa dikaitkan dengan suatu kondisi yang saat ini berlangsung yaitu karena terlalu cemas dalam merespon pandemi ini. 

Kemudian penelitian yang diterbitkan di Cognitive Therapy and Research yang telah dilakukan oleh Michael G. Wheaton, Jonathan S. Abramowitz, dan Bunmi O. Olatunji pada tahun 2009-2010, berjudul Psychological Predictors of Anxiety in Response to the H1N1 (Swine Flu) Pandemic, menyatakan adanya hubungan antara kecemasan terpapar virus Flu Babi dengan psikosomatik. 

Pada hasil riset tersebut, diungkapkan juga bahwa kondisi krisis kesehatan saat pandemi yang dipublikasikan secara meluas dapat menimbulkan kondisi psikogenik massal atau gejala sakit karena psikologis yang melibatkan banyak orang. 

Kesimpulan

Jadi, berdasarkan penelitian itu sebenarnya sangat memungkinkan bagi banyak orang untuk mengalami psikosomatis karena kecemasan yang berlebihan dalam merespon pandemi. Pola pikir kita juga menyumbang terhadap risiko atas kecemasan berlebihan. Pada masa pandemi seperti saat ini, orang yang sehat bisa saja salah dalam memahami sensasi tubuh yang tidak serius menjadi mirip dengan gejala COVID-19. Selain menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, penting juga untuk selalu berpikir positif dalam merespon pandemi ini.

Penulis: Choiril Anwar (1707016117), Prodi Psikologi, Kelompok 134 

 

Referensi:

(1) Kartini, Kartono. 2014. Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta: Rajawali Pers.

(2) Susilo, dkk. 2020. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: 7 (1). Halaman 45-67. 

(3) Marwa Bilqis, dkk. 2018. Hubungan Tingkat Ansietas dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Mahasiswa Kedokteran Universitas Andalas Angkatan 2015-2016. Jurnal Kesehatan Andalas: 7 (3). Halaman 319-324. 

(4) Wheaton. dkk. 2012. Psychological Predictors of Anxiety in Response to the H1N1 (Swine Flu) Pandemic. Cognitive Therapy and Research: (36). Halaman 210-218.


Posting Komentar untuk "Cemas Berlebihan Saat Pandemi? Ini Akibatnya"