Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengaruh Kelompok Pada Perilaku Komunikasi

Initentangpsikologi.com - Pada pembahasan kali ini akan mengulas mengenai tiga macam pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi, yaitu: konformitas, fasilitas sosial, dan polarisasi.

Pengaruh Kelompok Pada Perilaku Komunikasi
(pexels.com)

Konformitas (Conformity)

Menurut Kiesler (1969) konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan (norma) kelompok sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok yang riil atau yang dibayangkan.

Faktor-faktor yang memengaruhi konformitas, apa benar seseorang dapat memengaruhi orang lain bersepakat dengan mempertimbangkan beberapa persyaratan? Bisa saja! Namun konformitas itu tidak sesederhana yang diduga orang. Seperti paradigma utama yang dibahas dalam beberapa buku, konformitas adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal.

Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karekteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok. Konteks situasi juga memengaruhi konformitas. Ada situasi yang menghargai konformitas, di samping situasi yang mendorong kemandirian (tidak melakukan konformitas).

Kecenderungan untuk konformitas akan terjadi lebih besar pada situasi pertama (menghargai konformitas) ketimbang situasi kedua (mendorong kemandirian).
Teori behaviorisme tentang ganjaran dan hukuman menjelaskan gejala ini. 


Cara individu menyatakan penilaian dan perilakunya juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, bila individu harus menyatakan respons-nya secara terbuka, ia cenderung melakukan konformitas daripada ia diminta mengungkapkannya secara rahasia.

Di samping faktor-faktor situasional, beberapa faktor personal erat kaitannya dengan konformitas yaitu: usia, jenis kelamin, stabilitas, emosional, otoritarianisme, kecerdasan, motivasi, dan harga diri. Pada umumnya semakin tinggi usia anak maka semakin mandirilah ia, artinya semakin tidak bergantung pada orangtua dan akan semakin kurang kecenderungannya untuk konformitas.

1. Wanita lebih cenderung melakukan konformitas daripada pria. 
2. Orang yang emosinya kurang stabil lebih mudah mengikuti kelompok daripada orang yang emosinya stabil.  
3. Semakin tinggi kecerdasan, semakin kurang kecenderungan ke arah konformitas.
4. Motif afiliasi akan mendorong konformitas sementara motif berprestasi, motif aktualisasi diri, dan konsep diri yang positif akan cenderung menghambat konformitas. 
5. Semakin tinggi hasrat berprestasi seseorang, maka semakin tinggi kepercayaan dirinya, dengan demikian semakin sukar ia dipengaruhi oleh tekanan kelompok.

Akan tetapi, semua pernyataan yang disebutkan di atas harus dilihat dalam hubugannya dengan faktor-faktor situasional. Orang yang kepercayaan dirinya tinggi pun akan terpengaruh oleh kelompok dalam situasi ambigu. Konformitas tidak terlalu jelek, juga tidak selalu baik, artinya bergantung pada situasinya juga. 

Untuk nilai-nilai sosial yang dipegang teguh oleh sistem sosial, konformitas diperlakukan. Untuk keberhasilan moral, kita memerlukan konformitas. Akan tetapi, untuk perkembangan pemikiran, untuk menghasilkan hal-hal yang baru dan kreatif, konformitas tentu saja merugikan (Hollander, 1975). 

Fasilitas Sosial

Fasilitas sosial sebetulnya bukan istilah yang tepat karena dalam beberapa hal, kehadiran kelompok justru cenderung menghambat pelaksanaan kerja. Istilah ini mungkin tepat dipergunakan untuk penelitian-penelitian awal dalam psikologi sosial.

Pada tahun 1924, Floyd Alport menemukan fakta bahwa fasilitas sosial tidak selalu memudahkan pekerjaan. Kehadiran kelompok bersifat fasilitatif bila pekerjaan yang dilakukan berupa pekerjaan keterampilan yang sederhana. Sebaliknya, kelompok mempersukar pekerjaan bila pekerjaan itu berkenaan dengan nalar dan penilaian.

Polarisasi

Polarisasi ini menurut sebagia para ahli boleh jadi disebabkan pada proporsi argumentasi yang menyokong sikap atau tindakan tertentu. Bila proporsi terbesar mendukung sikap konservatif, keputusan kelompok pun akan lebih konservatif dan begitu sebaliknya (Ebbesen dan Bowers, 1974). 

Polarisasi mengandung beberapa implikasi yang negatif. Pertama, kecenderungan ke arah ekstremisme menyebabkan peserta komunikasi menjadi lebih jauh dari dunia nyata: karena itu, makin besar peluang bagi mereka untuk berbuat kesalahan. Produktivitas kelompok tentu menurun. Gejala ini disebut oleh Irving Janis sebagai groupthink.

Polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok gerakan sosial atau politik. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota-anggota yang memiliki pandangan yang sama. Ketika mereka berdiskusi, pandangan yang sama ini semakin dipertegas sehingga mereka bertambah yakin akan kebenarannya. Keyakinan ini disusul dengan merasa benar sendiri (self-righteousness) dan menyalahkan kelompok lain.

Proses yang sama terjadi pada kelompok saingannya. Terjadilah polarisasi yang menakutkan di antara berbagai kelompok dan di dalam masing-masing kelompok. (Myres dan Bishop, 1970).


Refensi Bacaan:
1) Rakhmat, Jalaludin. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2) Tutiasri, Ririn, Puspita. 2016. “Komunikasi dalam komunikasi kelompok” Vol. 4, No. 1 (hal. 81-90). Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi. Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
3) Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
4) Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi: Teori & Praktik. Universitas Mercu Buana.

Posting Komentar untuk "Pengaruh Kelompok Pada Perilaku Komunikasi"