Teknik Mendiagnosa Jenis Gangguan Jiwa
Pengantar
Diagnosis atau mendiagnosa adalah sebuah proses menentukan jenis-jenis penyakit dengan melalui suatu cara dengan meneliti atau memeriksa gejala-gejalanya. Gangguan jiwa dapat dikenali dengan perubahan pola pikir, tingkah laku dan emosi yang berubah secara mendadak tanpa disertai alasan yang jelas.
Perubahan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang sangat berpengaruh pada individu dalam menjalankan kesehariannya, bahkan bukan hanya dampak terhadap personal saja namun juga dapat berimbas pada orang banyak yang berada di sekitar individu tersebut.
Sehingga dalam hal ini individu tidak akan produktif dalam menjalani hidupnya. Berbagai macam faktor seperti lingkungan, teman ataupun keluarga tentunya akan menjadi faktor penting ketika individu yang telah mengalami masalah ini dan membutuhkan bantuan dari orang lain.
Banyaknya dampak yang disebabkan dari berbagai gangguan-gangguan psiskis maka diperlukan adanya teknik-teknik khusus yang dapat menangani dan membantu mengobati dan menyembuhkan gangguan tersebut.
Berikut beberapa teknik untuk melakukan diagnosa jenis gangguan kejiwaannya, antara lain: teknik interview lunak/keras serta interview diagnosis, teknik diagnosa menggunakan terapi psikoterapi dan psikoanalisa, terapi kelompok psikoanalitis, terapi tingkah laku serta teknik diagnosis multiaksial.
Dengan seluruh teknik ini diharapkan dapat membantu meringankan dan menyembuhkan masalah gangguan-gangguan kejiwaan tersebut.
Baca Juga: Definisi Kesehatan Mental dan Gangguan Mental
Baca Juga: Definisi Kesehatan Mental dan Gangguan Mental
Teknik Interview Keras, Interview Lembut dan Interview Diagnostik
Dalam menentukan diagnosa mengenai jenis suatu gangguan psikis, diperlukan adanya percakapan dengan pasien, yakni melalui wawancara atau interview. Wawancara bisa berupa "hard interview" atau "soft interview"serta interview diagnostik.
Interview Keras
Dengan hard interview (interview keras) orang berusaha untuk melucuti kedok, memergoki, menangkap basah, dan memaksa agar pasien mau membuka diri atau menjelaskan suatu pendirian yang salah.
Dengan metode interview keras orang mencoba menunjukkan kekeliruan-kekeliruan dan ketidakcocokan atau inkonsekuensi dari perasaan pikiran perbuatan si pasien, dan berusaha untuk menjelaskan bahwa perasaan-perasaan dan keyakinan-keyakinan yang dianut pasien itu keliru, dan tidak sesuai dengan realita yang ada.
Sehubungan dengan hard interview ini, jika pasien tidak mampu membela diri, maka dia merasa kalah dan malu. Dia merasa disudutkan sebab merasa kehilangan harga diri. Sehingga pasien bisa menjadi apatis, dan semakin membeku/tertutup karena nya. Dia tidak mau menjawab dan justru cenderung menutup diri.
Praktek interview keras semacam ini sangat mirip dengan pemeriksaan polisi dan pemeriksaan saat disidang pengadilan. Interview keras dengan segala lika-liku dan teknik manipulatif itu kurang tepat untuk dipraktekkan oleh seorang psikolog, dokter, dan terpeut dengan klien atau pasien-nya dan dianjurkan agar orang tidak memakainya.
Maka sikap yang aneh-aneh misalnya sikap dari seorang wanita yang histeris masokhistik, kesukaan membohong dari seorang pecandu obat-obat bius, yaitu seperti sering menimbulkan rasa jengkel pada psikolog, dokter dan terapeut, bisa ditanggulangi dengan metode lain, yaitu dengan: soft interview atau interview lembut.
Baca Juga: Fungsi Kesehatan Mental dalam Keluarga dan Sekolah
Baca Juga: Fungsi Kesehatan Mental dalam Keluarga dan Sekolah
Interview Lembut
Melalui interview lembut, terapeut (orang yang menterapi) berusaha menenangkan, serta menyenangkan pasien/client, agar merasa enak dan "aman-terlindung".
Dengan terapi interview lembut, terapeut berusaha memahami perasaan pasien dan berhati-hati untuk mengorek segala hal ikhwal yang bersangkutan dengan penyakit klien yang sifatnya lebih pribadi. Dengan begitu, informasinya akan menjadi lebih bisa dipercaya.
Orang yang merasa disudutkan, biasanya akan bersitegang dengan alasan-alasan yang palsu atau ia akan bersikeras dalam mempertahankan pendiriannya yang jelas fiktif sifatnya (berbohong). Semakin keras sifat interview-nya, biasanya semakin keras hati si pasien, dan cenderung semakin besar pula kebohongan serta kepura-puraannya.
Jika seorang terapeut, dokter dan atau psikolog ingin berdialog dengan seorang klien, maka yang dikehendaki ialah: informasi diri klien yang dapat dipercaya, untuk menggali informasi sedemikian ini perlu dipenuhi agar klien merasa " dipahami/dimengerti" oleh terapeut, dokter dan atau psikolog.
Sebab, pemahaman segala keluhan dan kepedihan atau kebingungan perasaan klien itu menjadi informasi penting bagi terapeut, sekaligus bisa memberi banyak pertolongan dan kelegaan kepada klien. Terapeut harus memiliki sifat yang simpatik, sabar, tenang, menyenangkan, dan mau mengerti kesulitan klien.
Jika semua terpenuhi maka terapeut dapat meminimalisir perasaan-perasaan bersalah dan berdosa pasien serta dapat membebaskan pasien dari rasa hampa dan bingung serta putus asa.
Baca Juga: Kesehatan Mental dalam Lingkup Keluarga dan Sekolah
Dialog terbuka dan interview yang baik itu jelas merupakan terapi yang manjur. Karena itu teknik mendengar dengan baik dan teknik membuka diri sendiri, agar mampu memahami dengan baik perasaan serta motivasi-motivasi yang menggerakkan orang lain atau seorang pasien untuk "bertingkah laku", merupakan teknik komunikasi yang sangat utama, teknik tersebut bisa disebut sebagai "attitude interview" atau interview sikap.
Baca Juga: Kesehatan Mental dalam Lingkup Keluarga dan Sekolah
Dialog terbuka dan interview yang baik itu jelas merupakan terapi yang manjur. Karena itu teknik mendengar dengan baik dan teknik membuka diri sendiri, agar mampu memahami dengan baik perasaan serta motivasi-motivasi yang menggerakkan orang lain atau seorang pasien untuk "bertingkah laku", merupakan teknik komunikasi yang sangat utama, teknik tersebut bisa disebut sebagai "attitude interview" atau interview sikap.
Dari kedua teknik tersebut akan sangat baik jika terapeut membiarkan atau mempersilahkan pasien atau klien berbicara sebanyak-banyaknya untuk mengungkapkan semua perasaan dan pikirannya.
Sedangkan terapeut mendengar dan memperhatikan baik-baik keadaan klien atau pasien bisa leluasa berbicara mengenai segala ganjalan di hati, kemudian bisa mengungkapkan semua keluhan dan derita yang didengarkan baik-baik oleh terapeut, segala hal tersebut sudah merupakan proses katharsis tersendiri.
Katharsis adalah pembersihan, pencucian dan pensucian jiwa, pikiran dan perasaan. Klien atau pasien yang merasa diperhatikan dan dimengerti, secara spontan akan bersedia membuka diri dan mau mengungkapkan segenap pikiran dan perasaannya. Pada awal percakapan biasanya pasien merasa amat cemas dan sangat tidak pasti, sehingga dialog berlangsung secara tersendat-sendat.
Oleh karenanya, saat berdialog diawal usahakan kita memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan-nya agar pasien merasa tenang dan senang terlebih dahulu, sehingga dia menjadi komunikatif.
Ketika interview, terapeut perlu memperhatikan baik-baik penampilan lahiriah pasien, misalnya sikap nerveus " jelalatan" dari pasien yang menderita gangguan muskuloskeletal, penampilan yang acak-acakan dan tidak terpelihara dari pasien yang autistic; sikap yang kurang minat atau kurang gairah dari wanita muda yang mengalami depresi berat. Kemudian, sikap dan penampilan yang jorok, dekil dari pasien pecandu obat-obatan bius dan seterusnya.
Baca Juga: Teori Stres Menurut Para Ahli
Seringkali perasaan-perasaan minder diungkapkan dengan ekspresi tertentu pada wajah, menggigit-gigit kuku jari-jari, menarik-narik ujung baju, dan gerak-gerak nerveus lainnya. Sedangkan delusi-delusi tertentu ditampilkan melalui cara-cara berpakaian dan potongan rambut yang aneh atau "nyentrik".
Baca Juga: Teori Stres Menurut Para Ahli
Seringkali perasaan-perasaan minder diungkapkan dengan ekspresi tertentu pada wajah, menggigit-gigit kuku jari-jari, menarik-narik ujung baju, dan gerak-gerak nerveus lainnya. Sedangkan delusi-delusi tertentu ditampilkan melalui cara-cara berpakaian dan potongan rambut yang aneh atau "nyentrik".
Ungkapan dari batin dan penampilan lahiriah itu bisa menjadi informasi penting bagi seorang terapeut dalam menggunakan teknik interview terhadap pasien atau klien. Dari penjelasan tersebut maka ada 2 hal yang perlu dikuasai oleh seorang terapeut ataupun psikolog yaitu :
a. Memberikan perasaan senang dan tenang pada pasien, agar dia merasa "didengar dan dipahami" oleh terapeut, sehingga pasien secara spontan dan wajar mau membuka diri dan mau berbicara;
b. Mengumpulkan macam-macam data informatif yang bisa dijadikan bahan dalam pemberian terapi afektif kepada pasien.
Pada kontak pertama dengan pasien, interview sifatnya adalah guna menstimulir atau merangsang, untuk memberanikan dia berbicara dan mengungkapkan segenap ganjalan batinnya. Jadi, sifatnya bukan memberikan struktur. Pada interview, sikap terapeut sebaiknya harus lebih banyak mengikuti arus curahan perasaan si pasien dan menyerahkan arah pembicaraan kepada klien sendiri.
Dengan ungkapan-ungkapan batin yang dicurahkan secara spontan tersebut akan bermanfaat bagi terapeut untuk menemukan simpul-simpul sambungan dari permasalahan, sehingga terapeut bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terarah pada pembicaraan selanjutnya.
Konselor ataupun terapeut perlu memenuhi tugas mendengar baik-baik, untuk kemudian mendorong klien berani mengungkapkan segala sesuatu yang tidak berani dinyatakannya dan mampu menduga apa yang tidak bisa dikatakan oleh pasien.
Bagi kebanyakan terapeut dan konselor, mendengar dengan baik itu merupakan tugas paling berat. Sebab kebanyakan individu lebih suka berbicara mendesakkan opininya sendiri, kurang bisa mendengar uraian pikir dan rasa orang lain dengan baik.
Baca Juga: Pengertian, Prinsip, Tahapan, dan Fungsi Konseling Individu
Baca Juga: Pengertian, Prinsip, Tahapan, dan Fungsi Konseling Individu
Interview Diagnostik
Dalam "interview diagnostik" sebaiknya pasien atau klien dirangsang untuk berbicara dengan bebas, sehingga dapat mengungkapkan perasaan dan pikirannya, yang diselingi dengan interview berkerangka atau berstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan yang terarah.
Pada interview awal atau pertama biasanya belum bisa menghasilkan informasi yang banyak, namun terapeut atau konselor tidak perlu kecewa dan cemas, sebab pasien-pasien dengan gangguan psikis cenderung menutup diri, bertempur dengan dirinya sendiri.
Sebagai contoh, pasien yang autistis biasanya akan menjawab semua pertanyaan dengan: kalimat-kalimat pendek yang sifatnya monosilabis. Misalnya dengan "nggak! mungkin! Ya! masa bodoh! Dan lain-lain. Sedangkan pasien dengan gangguan depresi berat atau sangat melankolis, akan menjawab: "biarkan aku mati sekarang, aku mau mati!”.
Agar interview bisa berhasil, sebaiknya katakan pada pasien untuk bersedia berpartisipasi aktif dan memberikan bantuan sepenuhnya, dengan jalan: mau membuka diri, mengungkapkan dengan spontan, wajar, dan bebas isi batinnya. Semua itu perlu dijelaskan kepada pasien, agar pasien bersedia melakukan hal hal tersebut.
Selanjutnya, interview ditutup dengan cara yang "baik" dan bisa diterima oleh pasien, yaitu :
1. Ada sedikit kejelasan bagi pasien, sehingga dia merasa puas dan;
2. Pasien tidak boleh dikecewakan.
Pada momen yang tepat, sampaikanlah pesan akhir misalnya seperti: "untuk pembicaraan kali ini, hanya tersisa sepuluh menit lagi ya. Ya, memang kurang enak bagi anda untuk memutus percakapan atau cerita. Tapi lain kali akan kita teruskan pembicaraan kita ini."
Lalu percakapan ditutup dengan memastikan pertemuan berikutnya, dengan penentuan hari dan jam yang tepat. Juga ditutup dengan mengemukakan kesimpulan yang jelas, dan menentukan tindakan-tindakan yang konkret yang akan dilakukan. Jadi, penutupan interview itu jangan bersifat "menggantung" dan kosong tanpa arti bagi pasien, akan tetapi jelas terarah.
Interview diagnostik biasanya menghasilkan terapeutik yang menakjubkan. Sebab, menduga bahwa ada orang lain yang mau bersimpati pada dirinya (diri si pasien) dan bersedia memahami segala kesulitan batinnya itu merupakan bantuan-bantuan yang maha besar bagi klien atau pasien, sehingga dia merasa lebih kuat memikul beban penderitaannya.
Memperlihatkan simpati dan "ikut merasakan" itu sekaligus bisa mengkompensir segenap dendam dan sakit hati si pasien. Maka kemahiran teknik interview ini akan bisa tercapai dengan jalan melakukan banyak training dalan psikoterapi.
Baca Juga: Fungsi Kesehatan Mental di Masyarakat
Baca Juga: Fungsi Kesehatan Mental di Masyarakat
Teknik Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara psikologis, dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan kerjasama secara profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit.
Penerapan praktek psikoterapi bisa dilakukan dengan percakapan dan observasi. Percakapan dengan seseorang dapat mengubah pandangan, keyakinan serta perilakunya secara mendalam, dan hal ini sering tidak disadari.
Teknik mendiagnosa gangguan jiwa dengan Psikoterapi merupakan suatu cara atau metode untuk penyembuhan dari gangguan-gangguan penyakit-penyakit jiwa. Pendekatan yang multikausal terhadap macam-macam gangguan psikis itu membawa beberapa konsekuensi pada terapinya, yang mana pada setiap pasien harus bisa diajukan pertanyaan - pertanyaan seperti dibawah ini :
a. Apakah ada gangguan-gangguan fisik tertentu yang bisa diobati secara medik (dengan obat-obatan tertentu)?
b. Apakah kesulitan-kesulitan batin dan gangguan psikisnya bisa didekati dengan psikoterapi?
c. Apakah kondisi-kondisi sosial yang tidak menguntungkan kemudian bisa diubah, diperbaiki atau ditingkatkan, sehingga bisa memperlancar kesembuhan dan meningkatkan kesehatan psikis si klien atau pasien?
Faktor fisik maupun psikis dan sosial, semuanya harus diperhatikan. Dengan begitu ada pandangan yang psikodinamis, sehingga diperoleh wawasan lengkap mengenai relasi dari perkembangan psikis dan gangguan psikisnya.
Selain itu juga terdapat beberapa aturan umum untuk melakukan psikoterapi, yaitu :
1. Demi keberhasilan psikoterapi, harus jelas dinyatakan kepada pasien atau klien bahwa terapeut berusaha sekuat mungkin memahami perasaan dan penderitaan klien, yaitu melalui sikap yang hangat dan human dengan jalan bertanya dan berminat terhadap kondisi psikofisik pasien sebagai sesama makhluk Tuhan.
2. Menaruh respek terhadap client atau pasien yang tengah menderita gangguan psikis. Dan tidak menganggap "lucu", "gila" atau "aneh" segala ungkapan pikiran dan perasaannya. Juga tidak melanggar kebebasan individu, setiap terapeut tidak melanggar atau menentang penentuan diri sendiri dan penentuan tujuan hidup pasien.
Sebaliknya terapeut harus memberikan perlindungan kepada pasien terhadap kecendrungan kecenderungan psikotis atau kecenderungan-kecenderungan yang berbahaya lainnya. Misalnya mencegah agar pasien tidak berusaha membunuh diri dalam kondisi depresi.
3. Menguasai teknik-teknik psikoterapi dengan landasan pengetahuan ilmu jiwa atau Psikologi, medis dan sosial lainnya.
4. Terapeut tidak boleh bersikap acuh tak acuh, kebal perasaan, leler, serampangan dan terlalu jovial atau terlalu bebas terhadap klien nya.
Sebaiknya, terapeut tidak bersikap "adviserend", terus menerus memberikan nasihat, dan tidak bersikap direktif menentukan arah dan tujuan bagi pasien, demi rasa respect terhadap pasien yang tengah menderita gangguan psikis. Jadi ada: respect pour le melade mental (ada respect terhadap orang yang tengah sakit mentalnya itu).
Jika advis/nasihat itu memang dijadikan upaya teraputis, atau harus digunakan sebagai ketentuan normatif (sebagai peraturan), maka beberapa indikasi peraturan dibawa ini perlu diperhatikan, yaitu :
a. Terapuik harus bisa membedakan antara alat dan tujuan. Mengenai alat-alat yang harus dipergunakan oleh pasien, terapeut boleh bahkan harus menyatakan pendapatnya. Akan tetapi mengenai asas dan tujuan hidup, setiap individu harus menentukannya.
Misalnya, apabila client minta pendapat terapeut, karena dia tidak mampu mengambil keputusan akan kawin dengan pemuda mana (dari lima orang calon), maka sebaiknya terapeut tidak usah memberikan advisnya. Namun, secara tidak langsung dan secara non direktif mengarah kan clien pada proses seleksi dan keputusan sendiri dengan bijaksana.
b. "Advic mengikuti arus" yaitu advic diberikan sebab sesuai dengan kebutuhan, benar-benar dibutuhkan, dan tepat waktunya untuk diberikan. Jadi orang harus melihat gelagat terlebih dahulu untuk bisa memberikan advicnya yang tepat. Sebaiknya terapeut memperhatikan "apa yang sudah dipikirkan dan diputuskan oleh client sendiri". Lalu bersama-sama dengan client mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian dari setiap langkah yang akan dilakukan.
c. Jika pasien benar benar tidak mampu memahami situasinya dan tidak berdaya mengatasi situasi tersebut, maka terapeut memberikan nasihat yang diperlukan client.
d. Jika pasien cenderung melakukan dekompensasi psikotis, dan beban psikis jadi terlalu berat bagi client, maka terapeut segera memberikan advis agar pasien/client tidak tercebur ke dalam kesulitan yang lebih besar. Nasehat atau advis tersebut berupa saran pertimbangan untuk mencegah cliak melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan yang merugikan bagi dirinya sendiri.
Jika terapeut yakin dan mengetahui lebih banyak bahaya bahaya daru suatu perbuatan, misalnya, mencegah atau melarang anak anak remaja menggunakan obat-obat bius. Dalam hal ini terapeut harus segera memberikan nasihat yang diperlukan anak.
Teknik Psikoanalisa
Metode dasar psikoanalisis adalah interpretasi konflik bawah sadar pasien yang mengganggu kesehariannya, yaitu konflik yang menyebabkan gejala menyakitkan seperti fobia, kecemasan, depresi, dan kompulsi.
Psikoanalisa adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sabagai studi fungsi dan perilaku psikologi manusia. metode psikoanalisa ini memiliki tiga penerapan, yaitu; metode dari pikiran, ilmu pengetahuan sistematis mengenai prilaku manusia, dan metode perlakuan terhadap psikologis atau emosional.
Psikoanalisis menjelaskan manusia memiliki tiga struktur kepribadian yaitu id, ego dan super ego. Teknik diagnosa dengan metode psikoanalisa ini diarapkan dapat membantu pasien melalui tingkatan-tingkatan alam bawah sadarnya. Berikut adalah proses atau tahapan mendiagnosa gangguan kejiwaan menggunakan teknik psikoanalisa, sebagai berikut :
1. Asosiasi bebas
Mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya.
Tujuan teknik ini adalah agar klien mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis
2. Analisis Mimpi
Klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan.
Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
3. Interpretasi
Mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
4. Analisis Resistensi
Resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi.
5. Analisis Transferensi
Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor.
Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.
Teknik Terapi Kelompok Psikoanalitis
Secara teori psikoanalisis Freud tidak pernah membahas secara khusus bagaimana teori psikoanalisis diterapkan pada konteks kelompok, namun secara umum pelaksanaan teori psikoanalisis untuk kelompok terdapat dalam bukunya Group Psychology And Analysis Of the Ego (1992). Dalam buku tersebut Freud menjelaskan sifat kelompok dan bagaimana kelompok mempengaruhi kehidupan individu.
Freud manrik kesimpulan bahwa kelompok sama dengan gerombolan (primal horde) dan pimpinan kelompok berfungsi sebagai pengganti “parental Figures”. Freud juga menekankan pentingnya perkembangan ego dalam sudut konteks kelompok dan rekontruksi unit keluarga antara anggota kelompok.
Teori psikoanalisis pertama kali diterapkan dalam konteks kelompok ketika perang dunia I, Trigant Burrow (1927), yang pertama kali menggunakan istilah analisis kelompok untuk perlakuan individu dalam psikoanalisis yang berorientasi kelompok, dia menekankan bahwa social forces mempengaruhi perilaku individu.
Menurut dua pandangan ahli yang menerapkan teknik psikoanalisis kelompok ini, mempertahankan bahwa kelompok merupakan manifestasi dari pengaruh kesehatan atau keadaan tidak sehat didalam kelompok. Prosedur konseling kelompok analitik sebagaimana Wolf (Natawidjaja, 2009: 2014) dapat ditempuh melalui enam tahapan yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan dalam Bentuk Analisis lndividu
Pada tahap ini konselor kelompok memilih para peserta -yangvcocok untuk melaksanakan kegiatan kelompok yang akan dipimpinnya. Perlu diusahakan bahwa mereka memiliki kondisi yang sesuai dengan kegiatan kelompok.
Kondisi itu diantaranya kemampuan untuk mengadakan kontak dengan kenyataan, kemampuan untuk berhubungan secara pribadi, luwes, dan potensi untuk menjadi katalisator dalam kegiatan kelompok.
2. Tahap Pembentukan Hubungan Melalui Penafsiran Mimpi dan Fantasi
Pada tahap kedua ini merupakan sarana untuk mengembangkan iklim saling mempercayai diantara anggota-anggota kelompok; hal tersebut juga memungkinkan menghadirkan kesan-kesan tertentu antar sesame anggota kelompok.
3. Interaksi Melalui Asosiasi Bebas Antarpribadi (Interpersonal Free Association)
Ditandai penggunaan yang mendalam tentang asosiasi bebas, yaitu komunikasi tanpa sensor mengenai perasaan dan pemikiran seseorang secepat hal itu muncul dalam ingatannya; hal ini juga mengandung arti bahwa keberhasilan tahap kedua dicerminkan dengan terjadinya asosiasi bebas atau berjalannya tahapan ketiga ini; jika pada tahapan ini didapati bahwa anggota terlihat canggung dalam pengeksplorasian maka, bukan tidak mungkin bahwa ia merasa belum nyaman atau mempunyai kesan negative atau semacamnya pada tahap sebelumnya.
4. Tahap Analisis Penolakan
Pada tahap ini penolakan itu muncul secara jelas pada waktu setiap anggota kelompok melakukan penafsirannya tentang mimpi dan mengadakan asosiasi bebas tentang anggota-anggota lainnya.
Tahap perkembangan kelompok ini dapat diumpamakan sebagai masa pemberontakan kelompok menentang konselor. Mereka mempertahankan dirinya dengan cara mengisolasikan diri, memberikan alasan-alasan rasional, dan mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal yang mendetail mengenai aturan kegiatan dalam kelompok.
5. Tahap Analisis Pengalihan
Pada tahap ini konselor benar-benar perlu menemukan ketakutan setiap anggota kelompok untuk mengubah dirinya dan juga mengenai trauma yang menahan perkembangan dirinya. Pada tahap ini, seyogyanya dibangun "persekutuan kerja" dalam kelompok, yaitu suatu bentuk kerja sama yang sehat dan realistik antara para anggota kelompok dengan konselor serta diantara anggota kelompok itu sendiri.
6. Tahap Tindakan Pribadi yang Disadari dan lntegrasi Sosial
Tahap ini ditandai dengan berakhirnya distorsi pengalihan yang sangat kuat yang terjadi dalam kelompok. Pada tahap ini terdapat suatu pola berbagi kepemimpinan dan pemisahan diri serta penyadaran individual yang realistik. Distorsi pengalihan kelompok terhadap konselor telah ditangani secara tuntas dan para anggota kelompok memandang konselor lebih realistis.
Tujuan tahap ini adalah untuk membantu konseli menemukan cara-cara yang lebih efektif untuk berhubungan dengan orang lain dan meningkatkan pertumbuhan pribadi konseli sehingga konseli itu dapat berpikir mancari dan berdiri sendiri dalam perbuatannya.
Dalam praktik konseling kelompok pskoanalitis, teknik diagnosisnya berorientasi dari teknik teknik dalam teori psikoanalisa, seperti teknik Asosiasi bebas (Free Association), teknik Penafsiran, Transferensi, Anaisis mimpi, Analisis dan penafsiran transferensi, serta wawasan dan penanganan (insight and working trough).
Dari enam teknik ini asosiasi bebas merupakan teknik yang paling utama digunakan, penggunaan asosiasi bebas (free association) sebagaimana dikemukakan Corey (1990) asisiasi bebas merupakan tipe “free-floating discussion” atau mengadakan diskusi bebas anggota menyampaikan perasaan dan kesan mereka dengan segera.
Pada umumnya, sebagian besar bentuk pelaksanaan kerja kelompok yang berorientasi psikoanalisis menekankan pada terapi individual dalam suatu konteks kelompok (psikoanalisis dalam kelompok).
Teknik Terapi Tingkah Laku
Pada teknik terapi ini dapat merubah ataupun memperbaiki berbagai tingkah laku atau perilaku seseorang yang telah menjadi kebiasaan dan mengakar dari kepribadiannya yang telah dibentuk karena adanya faktor internal, ataupun eksternal, seperti keluarga, teman ataupun lingkungan lainnya.
Sedangkan tujuan dari terapi tingkah laku itu adalah menciptakan proses baru bagi proses belajar, karena segenap tingkah laku adalah dipelajari. Ada beberapa kesalahpahaman tentang tujuan terapi tingkah laku, antara lain :
a. Bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan gejala suatu gangguan tingkah laku dan setelah gejala itu terhapus, gejala baru akan muncul karena penyebabnya tidak ditangani.
b. Tujuan klien ditentukan dan dipaksanakan oleh terapi tingkah laku.
Terapi tigkah laku dapat digunakan dalam menyembuhkan berbagai gangguan tingkah laku dari yang sederhana hingga yang kompleks, baik individu atau kelompok. Di samping itu terapi tingkah laku dapat dilaksanakan oleh guru, pelatih, orang tua atau pasien itu sendiri.
Adapun teknik-teknik menggunakan terapi tingkah laku ini yaitu sebagai berikut:
1. Desensitisasi Sistematik
Teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapus.
2. Teknik Inflosif dan Pembanjiran
Teknik ini berlandasakan kepada paradigma penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus dalam kondisi berulang-ulang tanpa memberikan penguatan.
3. Latihan Asertif
Teknik ini diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan menerima kenyataan bahwa menegaskan diri adalah tindakan yang layak benar. Latihan atau teknik ini membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak dan bentuk lainnya.
4. Teknik Aversi
Teknik ini digunakan untuk meredakan gangguan behavioral yang spesifik dengan stimulus yang menyakitkan sampai stimulus yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi ini biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang memualkan.
5. Pengkondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang mencari ciri organisme yang aktif, yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat.
Teknik Diagnosis Multiaksial
Diagnosis Multiaksial memiliki 5 aksis. Berikut ini merupakan langkah-langkah membuat diagnosis multiaksial:
1. Aksis I : Diagnosis klinik
Berisi tentang gangguan klinis dan gangguan perkembangan dan pembelajaran. Merupakan kriteria diagnosis yang dikelompokkan berdasarkan gejala-gejala klinik yang telah dibuktikan dalam pemeriksaan.
Gangguan yang dapat ditemukan pada aksis I antara lain:
a. Gangguan yang biasanya didiagnosis pada masa bayi, anak dan remaja (kecuali retardasi mental, yang didiagnosis pada aksis II);
b. Delirium, dimensia, amnesia dan gangguan kognitif lainnya;
c. Gangguan mental organic;
d. Gangguan akibat zat psikoaktif;
e. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya;
f. Gangguan mood;
g. Gangguan cemas menyeluruh;
h. Gangguan somatoform;
i. Gangguan factitious;
j. Gangguan disosiatif;
k. Gangguan makan;
l. Gangguan tidur;
m. Gangguan kontrol impuls yang tidak dapat diklasifikasikan;
n. Gangguan penyesuaian;
o. Kondisi lain yang dapat menjadi fokus perhatian klinis.
2. Aksis II : Gangguan kepribadian dan retardasi mental
Merupakan ciri atau gangguan kepribadian yaitu pola perilaku yang menetap (kebiasaan, sifat) yang tampak dalam persepsi tentang diri dan lingkungan (yang akan ditampilkan dalam pola interaksi dengan orang lain).
Kelaianan yang dapat ditemukan pada aksis II atara lain:
a. F60 ‒ F69. Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa Dewasa;
b. F60.0. Gangguan Kepribadian Paranoid;
c. F60.1. Gangguan Kepribadian Skizoid;
d. Gangguan Kepribadian Skizotipal;
e. Gangguan Kepribadian Antisosial;
f. Gangguan Kepribadian Ambang;
g. Gangguan Kepribadian Histerionik;
h. Gangguan Kepribadian Narsisistik;
i. Gangguan Kepribadian Menghindar;
j. Gangguan Kepribadian Dependen;
k. Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif;
l. Gangguan Kepribadian Pasif-Agresif;
m. Gangguan Kepribadian Yang Tidak Ditentukan (YTD);
n. F70 ‒ F79. Retardasi Mental.
3. Aksis III : Penyakit Fisik
Penyakit atau kondisi fisik, khususnya yang perlu diperhatikan pada tatalaksana atau menjadi penyebab munculnya gangguan yang dituliskan pada aksis I.
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis III antara lain:
a. Penyakit infeksi dan parasit;
b. Neoplasma;
c. Penyakit endokrin, nutrisi, metabolik dan imunitas;
d. Penyakit hematologi;
e. Penyakit sistem saraf;
f. Penyakit sistem sirkulasi;
g. Penyakit sistem respirasi;
h. Penyakit sistem pencernaan;
i. Penyakit sistem kelamin dan saluran kemih;
j. Komplikasi kehamilan, persalinan dan masa nifas;
k. Penyakit kulit dan jaringan subkutan;
l. Penyakit sistem muskuloskeletal dan jaringan ikat;
m. Kelainan kongenital;
n. Kondisi tertentu pada masa perinatal;
o. Tanda, gejala dan penyakit tertentu;
p. Cedera dan keracunan.
4. Aksis IV: Masalah psikososial dan lingkungan
Merupakan semua faktor yang berkontribusi terhadap, atau mempengaruhi, gangguan jiwa saat ini dan hasil pengobatan.
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis IV antara lain:
a. Masalah yang berhubungan dengan keluarga
b. Masalah yang berhubungan dengan lingkungan sosial
c. Masalah pendidikan
d. Masalah berkenaan dengan pekerjaan
e. Masalah perumahan
f. Masalah ekonomi
g. Masalah dalam akses ke pelayanan kesehatan
h. Masalah hukum
i. Masalah psikososial dan lingkungan lainnya.
5. Aksis V : GAF
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi yang sering disebut sebagai Global assesment of functioning (GAF).
Pemeriksa mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional pasien selama periode waktu tertentu (misalnya saat pemeriksaan, tingkat fungsional pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir). Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial, fungsi pekerjaan, fungsi psikologis.
Referensi Bacaan:
- Kartono, Kartini. 2014. Patologi Sosial 3: Gangguan Gangguan Kejiwaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
- Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya. 2001.
- Adhiputra, N (2015). konsling kelompok teori dan aplikasi. Yogyakarta: Media Akademik.
- Kurnanto, E. (2013). Konseling Kelompok. Alfabeta. Bandung
- Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993
- http://fransiscakumala.wordpress.com/2010/02/09/definisi-klarifikasi-gangguan-jiwa-dan-diagnosis-multiaksial/
- http://www.scribd.cm/doc/55858510/definis-Gangguan-Jiwa
Posting Komentar untuk "Teknik Mendiagnosa Jenis Gangguan Jiwa"