Faktor Penyebab Skizofrenia
Ilustrasi (pexels.com) |
Penyebab Skizofrenia
Sebab-sebab schizophrenia antara lain: faktor genetik, adanya
kerusakan pada sistem syaraf sentral, dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Di pertengahan abad ke-20, dasar genetik dari penyakit skizofrenia
mulai diungkap oleh beberapa ilmuan. Para ilmuan tersebut mengemukakan bahwa faktor penyebab skizofrenia disebabkan karena gangguan disfungsi biologis dan mereka menemukan
persentasi dari penderita skizofrenia yaitu 1% dari populasi manusia.
Perkiraan
tersebut dapat bertambah maupun berkurang. Namun pada tahun 1900-an penderita
penyakit skizofrenia di berbagai negara mengalami penurunan.
Baca Juga: Skizofrenia - Pengertian, Gejala dan Cara Mendiagnosisnya
Skizofrenia diderita oleh berbagai etnis dunia, namun dari hasil penelitian penderita skizofrenia lebih banyak dijumpai di Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa daripada negara-negara ketiga.
Baca Juga: Skizofrenia - Pengertian, Gejala dan Cara Mendiagnosisnya
Skizofrenia diderita oleh berbagai etnis dunia, namun dari hasil penelitian penderita skizofrenia lebih banyak dijumpai di Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa daripada negara-negara ketiga.
Hal tersebut mungkin dikarenakan
perbedaan perekaman hasil medis yang dilakukan, namun banyak juga kemungkinan
lainnya. Rata-rata pria penderita skizofrenia memiliki tingkat keparahan
tinggi dari pada penderita wanita, dan pria juga mengalami kemunculan gejala skizofrenia lebih awal dari pada wanita.
Adapun faktor penyebab dari gangguan skizofrenia ini antara lain :
1. Faktor Biologis
Peran faktor-faktor genetik telah diteliti secara lebih ekstensif
dalam kaitannya dengan skizofrenia dibanding dengan tipe gangguan mental
lainnya. Data yang sudah ada didasarkan pada metode-metode canggih yang telah
disempurnakan selama bertahun-tahun.
Bobot kumulatif bukti-bukti ini
menunjuk dengan jelas ke arah tipe pengaruh genetik tertentu dalam transmisi
gangguan ini.
Risiko morbid seumur hidup untuk skizofrenia jauh lebih besar
diderita keluarga derajat pertama (anak, saudara kandung, saudara kembar, dan
orang tua) dari pada keluarga derajat kedua (sepupu, paman atau bibi,
keponakan, cucu, dan saudara tiri).
Semakin tinggi derajat kesamaan genetik
antara seorang individu dan seorang pasien skizofrenik, semakin tinggi pula
risiko orang itu untuk menderita skizofrenia.
Ilustrasi (pexels.com) |
Tercatat 10% penderita penyakit skizofrenia disebabkan karena
memiliki kekerabatan biologis dengan penderita penyakit skizofrenia seperti
orang tua, anak, atau saudara kandung bahkan bila kerabat tersebut diadopsi tak
lama setelah kelahirannya oleh keluarga sehat.
Pada studi adopsi telah
ditemukan bahwa resiko dari skizofrenia meningkat karena adanya gangguan dari
orang tua biologis namun tidak masalah bagi orang tua adopsi.
Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan pada 49 anak yang lahir antara tahun 1915 dan 1945. Anak-anak tersebut dipisahkan dari ibunya saat tiga hari setelah kelahirannya, sementara ibunya dirawat di rumah sakit karena skizofrenia.
Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan pada 49 anak yang lahir antara tahun 1915 dan 1945. Anak-anak tersebut dipisahkan dari ibunya saat tiga hari setelah kelahirannya, sementara ibunya dirawat di rumah sakit karena skizofrenia.
Semua anak terlihat normal
pada awal kelahirannya namun pada pertengahan usia tiga puluhan terdapat lima
orang yang terdiagnosis menderita gangguan skizofrenia. Data ini menunjukan
bahwa faktor genetik berperan dalam perkembangan gangguan tersebut.
Namun muncul fakta baru bahwa kurang dari 100% penderita
skizofrenia pada kembar identik tidak mengalami hal sama. Pada suatu penelitian
dari sampel yang diambil pada anak kembar identik terdapat discordant (salah
satu memiliki gangguan skizofrenia dan yang lainya tidak).
Skizofrenia pada
anak-anak pasangan kembar non-skizofronik sama banyaknya dengan anak-anak
pasangan kembar skizofronik.
Skizofrenia memiliki banyak penyebab. Beberapa gen yang berbeda
telah dikaitkan dengan gangguan ini. Akan tetapi mekanisme dari gen-gen
tersebut apakah dapat menjadi skizofrenia belum diketahui dengan pasti.
Kebanyakan
ilmuwan klinis percaya bahwa skizofrenia merupakan karakteristik polenik, yang
berarti bahwa skizofrenia merupakan produk dari sejumlah gen, bukan hanya dari
satu gen tunggal.
Selain itu terdapat beragam faktor pengalaman dari usia dini yang terimplikasi
perkembangan skizofrenia misalnya
komplikasi persalinan, infeksi usia dini, reaksi autoimun, toksin, cidera traumatik, dan
stres juga mempengaruhi dari gangguan skizofrenia.
Pengalaman-pengalaman usia
dini tersebut diduga dapat mengubah perkembangan neural yang normal
menghasilkan skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan genetik.
2. Faktor Sosial
Gangguan skizofrenia diekspresikan dalam bentuk yang berkembang
penuh hanya ketika individu yang mengalami kerentanan peristiwa lingkungan
tertentu, yang mencakup variabel nutrisi sampai kehidupan yang stressfull.
Para
ilmuwan sosial yang bekerja di Chicago menemukan bahwa prevalensi tertinggi
skizofrenia ditemukan di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi yang
rendah. Ada dua cara untuk menginterpretasikan hubungan antara kelas sosial dan
skizofrenia yaitu hipotesis social causation dan hipotesis seleksi sosial.
Hipotesis social causation berkaitan dengan keanggotaan kelas
sosial yang terendah, yang mungkin banyak mencakup faktor mulai dari stress dan
isolasi sosial sampai gizi buruk yang dapat berperan sebagai penyebab dari
gangguan skizofrenia.
Orang yang menderita skizofrenia kurang mampu menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi atau untuk mendapatkan pekerjaan yang bergaji cukup dibandingkan orang normal pada umumnya. Dengan kata lain banyak pasien skizofrenia secara berangsur-angsur terperosok masuk ke dalam kelas sosial terendah, pandangan ini sering disebut hipotesis seleksi sosial.
Ilustrasi (pexels.com) |
Tingkat skizofrenia tinggi juga ditemukan di antara masyarakat yang
berimigrasi ke negara baru. Hal tersebut terjadi pada orang-orang
Afrika-Karibia yang pindah ke Inggris, Jamaika, Barbados, dan Trinidi.
Kesulitan sosial yang dialami meningkatkan resiko skizofrenia, karena migran
yang tinggal di perkotaan yang mana mereka cenderung terpapar diskriminasi dan
mendapat berbagai bentuk kemalangan lain.
3. Faktos Psikologis
Pada faktor psikologis ini lebih memfokuskan pada pola perilaku dan
komunikasi dalam keluarga. Dari bukti penelitian yang telah ditemukan
menunjukan bahwa masalah interaksi dan komunikasi pada keluarga bukan penyebab
dari kemunculan simtom ini.
Pola komunikasi yang salah dalam suatu keluarga
tidaklah menjadi penyebab dari gangguan skizofrenia.
Namun keluarga pasien skizofrenik biasanya merefleksikan sikap
negatif atau instruktif pada pasien, misalnya banyak anggota keluarga yang
mengekspresikan permusuhan terhadap pasien atau berulang kali mengkritik
perilaku pasien dan juga biasanya lebih overprotektif atau terlalu
mengidentifikasikan diri dengan pasien.
Hal tersebut memungkinkan pasien kambuh dalam waktu kurang dari sembilan bulan setelah dipulangkan dari rumah sakit. Para pasien yang kembali tinggal dengan seorang yang expressed emotion (EE) tinggi lebih berkemungkinan untuk kambuh dari pada pasien yang tinggal dengan orang EE-rendah.
Hal tersebut memungkinkan pasien kambuh dalam waktu kurang dari sembilan bulan setelah dipulangkan dari rumah sakit. Para pasien yang kembali tinggal dengan seorang yang expressed emotion (EE) tinggi lebih berkemungkinan untuk kambuh dari pada pasien yang tinggal dengan orang EE-rendah.
Konsep expressed emotional memunculkan masalah-masalah yang sangat
sensitif bagi anggota keluarga, yang sudah terlalu sering dipersalahkan atas
masalah skizofrenia. Emosi yang diekspresikan bukan satu-satunya penyebab
kambuhnya gangguan ini. Karena terdapat sebagian pasien kambuh meski tinggal
bersama orang-orang yang toleran dan penuh pengertian.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hubungan antara perilaku pasien dengan perilaku yang diekspresikan oleh keluarganya merupakan suatu proses transaksional atau timbal-balik.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hubungan antara perilaku pasien dengan perilaku yang diekspresikan oleh keluarganya merupakan suatu proses transaksional atau timbal-balik.
Dengan kata lain, pasien mempengaruhi sikap keluarganya dan pada
saat yang sama sikap keluarga mempengaruhi penyesuaian pada pasien. Sikap
negatif persisten di pihak keluarga tampak diperburuk oleh siklus interaksi
negatif pasien.
makasih infonya
BalasHapussama-sama, semoga infonya bermanfaat
BalasHapusMantul Infonya
BalasHapusHahaha, sipp
BalasHapus